Implementasi UNCLOS 1982 Terhadap Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut di Indonesia
Home »
Hukum
» Implementasi UNCLOS 1982 Terhadap Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut di Indonesia
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib
dilindungi dan dijaga kelestariannya agar tetap dapat menjadi sumber penunjang
hidup bagi manusia dan mahluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan
kualitas kehidupan.
Perkembangan masyarakat internasional menunjukkan bahwa lingkungan hidup
tidak lagi dapat diabaikan kedudukannya dalam kehidupan manusia. Perhatian yang
cukup dan penanganan yang serius harus segera dilakukan. Mengingat, kerusakan
lingkungan berarti ancaman bagi kelangsungan hidup manusia di dunia ini.[1]
Fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi sekarang ini tidak terlepas dari
ulah manusia itu sendiri. Karena itu, tindakan manusia yang merusak ini harus
dikendalikan. Salah satu alat pengendaliannya adalah “hukum”. Hukum yang
dimaksud disini adalah Hukum Lingkungan baik nasional maupun internasional.
Jika berbicara
tentang lingkungan hidup, maka pembahasan mengenai lingkungan hidup akan sangat
luas. Karena itu, guna menghindari pembahasan yang meluas. Maka dalam penulisan
ini, lingkungan hidup yang dimaksud adalah lingkungan laut.
Wilayah suatu negara selain udara dan darat juga adalah lautan. Laut adalah
bagian dari lingkungan hidup yang memiliki manfaat yang sangat besar bagi
kehidupan manusia. Karena, laut memiliki banyak fungsi dan mengadung berbagai
macam kekayaan Alam yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup umat manusia.
Selain itu, Laut juga memiliki peranan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai
berbagai fungsi, antara lain sebagai: sumber makanan, jalan raya perdagangan,
sarana transportasi, tempat rekreasi/wisata,
dan alat pemisah atau pemersatu bangsa. Kemudian, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
fungsi laut telah bertambah lagi dengan ditemukannya berbagai
macam bahan tambang dan
galian yang berharga di dasar laut.[2]
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa laut, sumber daya alam dan
segala fungsinya dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Namun, perlu diingat bahwa laut dan potensi kekayaan yang ada, jika
dikelola dan dimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab dan tanpa memperhatikan
batas kemampuan alam, maka akan menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut.
Kerusakan pada lingkungan laut, berarti bencana bagi kehidupan umat manusia.
Saat ini, kerusakan
lingkungan laut merupakan salah satu masalah yang mendapatkan perhatian besar
dari dunia internasional. Hal ini dikarenakan laut yang merupakan salah satu pusat sumber daya penting
bagi kehidupan manusia sudah berada pada kondisi yang sangat
mengkhawatirkan.
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi kelautan khususnya di bidang perkapalan menyebabkan peningkatan pemanfaatan laut di bidang pelayaran juga semakin meningkat. Peningkatan aktifitas
pelayaran di laut ini tentunya sangat rentan menyebabkan pencemaran laut. Hal ini merupakan masalah bagi
negara-negara di dunia, khususnya negara-negara pantai dalam melindungi lingkungan lautnya dari ancaman pencemaran.
Pencemaran laut menyebabkan kelestarian dan keserasian lingkungan serta
manfaat dari sumber daya alam yang ada di laut menjadi terganggu. Selain itu, pencemaran laut
juga dapat mempengaruhi seluruh aktifitas manusia di laut. Hal ini disebabkan sifat laut yang berbeda dengan
daratan, dimana laut merupakan satu kesatuan yang saling terhubung dan tidak
terpisahkan. Misalnya, Apabila
terjadi pencemaran di lingkungan laut suatu negara,
maka cepat atau lambat pencemaran tesebut juga akan menimbulkan kerugian pada
negara lain karena pencemaran tersebut memasuki wilayah perairannya. Karena itu, masalah
pencemaran laut dapat mempengaruhi semua negara pantai baik negara berkembang
maupun negara maju.
Mengingat
begitu pentingnya pelindungan terhadap lingkungan laut, maka di dalam United Nations Convention on The Law of the Sea
(selanjutnya disebut
UNCLOS) 1982, terdapat
bagian tersendiri yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan
laut. Ketentuan-ketentuan
yang mengatur mengenai perlindungan lingkungan laut terdapat dalam Bab XII (dua
belas) UNCLOS 1982, yang pada intinya
memuat mengenai perlindungan, pelestarian lingkungan laut, pencegahan,
pengurangan, dan penguasaan pencemaran laut.
Negara
Indonesia adalah salah satu negara yang diuntungkan dengan disahkan dan
diberlakukannya UNCLOS 1982, ini
disebabkan karena Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas dan letak
geografis yang unik. Di samping letak kepulauan Indonesia yang berada pada
garis khatulistiwa, juga posisi geografis ini menurut kenyataannya merupakan
negara kepulauan (archipelagic state) yang berada pada posisi silang
dunia, yaitu di
antara dua benua yakni
Benua Asia dan Australia dan di antara dua samudera yaitu Samudera India dan
Samudera Pasifik. Luas wilayah laut Indonesia dapat dirinci menjadi 0,3 juta
km² laut teritorial, 2,8 juta km² perairan nusantara (perairan kepulauan), dan
2,7 juta km² Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pada wilayah
laut inilah terdapat lingkungan laut Indonesia. [3]
Pada
lingkungan laut Indonesia terdapat berbagai macam sumber kekayaan alam, baik
kekayaan alam hayati maupun non-hayati, dan memiliki peranan yang sangat
penting, misalnya sebagai sarana penghubung, media rekreasi, jalan raya perdagangan, dan sebagai alat
pemersatu bangsa Indonesia.
Sebagai negara bahari, seharusnya
Indonesia mendayagunakan ekologi dan kekayaan alam yang dimilikinya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Karena itu, seluruh warga negara harus
terus disadarkan atas kelalaiannya merusak kelestarian laut dengan sembarangan membuang limbah industri daratan yang
pada akhirnya akan
mencemari laut.
Mengingat kestabilan ekosistem laut
sangat bergantung pada keutuhan sumber alam di darat.[4] Olehnya itu, sangat penting
untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut Indonesia dari berbagai hal
yang dapat mengancam kelestariannya agar dapat dinikmati secara berkelanjutan
oleh generasi yang akan datang.
Sejak tahun 1985, Indonesia telah
meratifikasi UNCLOS 1982 melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan UNCLOS 1982. Namun Pada kenyataannya, permasalahan mengenai hukum
laut semakin banyak. Meskipun sudah banyak
kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, tetapi pada kenyataannya hal tersebut belum mampu
mengatasi permasalahan-permasalahan
yang ada,
termasuk dalam hal perlindungan
lingkungan laut. Hal ini dapat dilihat dari kerusakan lingkungan laut Indonesia
yang semakin hari semakin meningkat.
Kemajuan teknologi sering disebut-sebut sebagai salah satu peneyebab terjadinya kerusakan lingkungan
laut, misalnya di bidang perikanan. Seiring dengan perkembangan zaman yang
semakin modern, maka teknologi di bidang pengelolaan dan penangkapan ikan juga
semakin modern. Pengelolaan dan penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan
modern memang memberikan keuntungan lebih besar dengan hasil tangkapan yang
lebih banyak dibanding menggunakan peralatan penangkapan yang tradisonal.
Namun, penggunaan alat modern juga memberikan dampak negatif bagi lingkungan laut
Indonesia. Misalnya, punahnya spesies ikan tertentu, rusaknya terumbu karang
yang merupakan tempat perlindungan dan perkembangbiakan ekosistem laut. Hal ini diperparah lagi dengan
adanya pengelolaannya yang
tidak memperhatikan ketentuan dan
persyaratan yang diwajibkan oleh pemerintah. Sehingga pelanggaran terhadap persyaratan tersebut
akan merusak dan menghancurkan lingkungan laut.
Selain itu, dengan berkembangnya usaha-usaha eksplorasi dan eksploitasi
minyak di lepas pantai, semakin ramainya lalu-lintas kapal-kapal tanker raksasa
melalui perairan Indonesia, dan dengan semakin pentingnya lalu-lintas
kapal-kapal nuklir, baik di atas maupun di bawah permukaan air
laut, maka bahaya yang dihadapi negara
Indonesia terhadap keserasian dan kelestarian lingkungan
lautnya juga akan semakin besar. Sehingga, dari sekarang sudah perlu mulai
dipikirkan bagaimana caranya menanggulangi bahaya-bahaya tersebut di masa mendatang.[5]
Kerusakan laut yang diakibatkan
oleh aktivitas pertambangan seharusnya diantisipasi sejak dini. Pemerintah seyogianya telah menyiapkan berbagai aturan-aturan
hukum guna melindungi seluruh
kekayaan dan keindahan laut Indonesia.
Agar kelestarian sumber daya dan ekosistem yang ada di laut tetap terjaga, sehingga bisa diwariskan
kepada generasi yang akan datang.
Tapi ironisnya, masalah kerusakan lingkungan
laut yang terjadi di wilayah perairan Indonesia bukanlah hal yang asing lagi.
ini bisa dilihat dari
berbagai pemberitaan di media massa yang menyorot hal tersebut, misalnya
mengenai kotornya wilayah pantai di Bali dan Lombok, rusaknya terumbu karang di
lautan Wakatobi dan Raja Ampat, dan matinya ribuan ikan di Muara Angke secara mendadak. Melihat hal
ini, nampak bahwa seolah-olah pemerintah lalai menjalankan fungsinya dalam
menjaga dan melindungi wilayah laut Indonesia dari kerusakan.
Berkaca pada sejarah, di Indonesia
telah terjadi beberapa kasus kerusakan lingkungan laut yang diakibatkan oleh
tumpahan minyak karena kecelakaan kapal tanker. Setidaknya telah terjadi
sembilan kali kasus tumpahan minyak di Indonesia: [6]
1.
Tanker
Showa Maru, karam di Selat Malaka tahun 1975, menumpahkan 1 juta ton minyak
mentah;
2.
Choya
Maru, karam di Bulebag, Bali (1975), menumpahkan 300 ton bensin;
3.
Golden
Win, bocor di Lhokseumawe, NAD (1979), menumpahkan 1.500 kiloliter minyak
tanah;
4.
Nagasaki
Spirit, karam di Selat Malaka (1992), menumpahkan minyak mentah;
5.
Maersk
Navigator, karam di Selat Malaka (1993), menumpahkan minyak mentah;
6.
Bandar
Ayu, karam di Pelabuhan Cilacap (1994), menumpahkan minyak mentah;
7.
Mission
Viking, karam di Selat Makassar (1997), menumpahkan minyak mentah;
8.
MT
Natuna Sea, karam di Pulau Sambu (2000), menumpahkan 4.000 ton minyak mentah.
9.
MT
Kharisma Selatan, terbalik di Dermaga Mirah, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya
(2007), menumpahkan 500 kiloliter MFO (marine
fuel oil).
Di Indonesia sendiri, kasus pencemaran lingkungan laut, baru mendapat perhatian
yang serius yaitu sejak terjadinya kecelakaan Kapal Tanker Showa Maru pada
tahun 1975 di Selat Malaka dan Selat Singapura.[7] Kecelakaan tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan
laut Indonesia yang sangat parah, sehingga mengakibatkan kerugian sangat besar pada lingkungan laut Indonesia. Namun, pada waktu itu Indonesia tidak bisa menuntut ganti rugi kepada pemilik
kapal, dikarenakan belum adanya peraturan perundang-undang nasional yang mengatur tentang
pencemaran lingkungan.
Beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia
sebagaimana diuraikan sebelumnya, memberikan
gambaran bahwa betapa pentingnya peranan pemerintah Indonesia dalam menjaga wilayah perairan Indonesia dari
berbagai ancaman kerusakan yang ada, dan mengelola kekayaan sumber daya alamnya
dengan baik dan benar.
Indonesia sebagai negara kepulauan harus mampu menjaga laut dan kekayaannya. Agar
apa yang terjadi selama ini berupa illegal fishing, perdagangan ilegal, dan pencemaran
atau perusakan lingkungan laut
dapat dicegah. Karena
jika hal itu terus terjadi, maka
kekayaan laut Indonesia akan terkuras habis dan Indonesia akan menjadi negara
miskin. Karena
itu, Indonesia harus bangkit
membangun bidang kelautan termasuk membangun infrastruktur, peralatan, dan
pembuatan peraturan nasional di bidang kelautan disertai penegakan hukumnya.[8]
Jika Indonesia mampu membangun dan mengembangkan potensi dan
kekayaan alam yang dimilikinya termasuk di bidang kelautan. Maka negara
Indonesia akan menjadi negara
maju
dan besar, yang memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyatnya, Sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang
Dasar 1945, yakni Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan: “bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
II.
PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT MENURUT
UNCLOS 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA
2.1
Pengaturan Perlindungan Dan Pelestarian Lingkungan
Laut Dalam Unclos 1982
Dalam Pasal 192 konvensi ini menegaskan bahwa setiap negara mempunyai
kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan lautnya. Kewajiban ini kemudian disusul dengan pemberian hak
kepada negara atas pengelolaan sumber daya alamnya
di laut. Hak tersebut diatur dalam Pasal 193. Karena itulah, konvensi
ini mewajibkan setiap negara untuk
mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut yang terjadi di wilayahnya.
Berikut ini akan diuraikan beberapa aspek penting yang
diatur di dalam UNCLOS 1982 terkait
mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (Bab XII UNCLOS 1982), yaitu:
Pendekatan dasar konvensi terhadap pencemaran laut
diletakkan dalam Pasal 194-196. Dalam Pasal 194 menyatakan bahwa negara-negara
harus mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk mencegah, mengurangi, dan
mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari sumber apapun. Dalam mengambil
tindakan-tindakan pencegahan, pengurangan dan mengendalikan pencemaran
tersebut, setiap negara harus melakukannya dengan sedemikian rupa agar tidak
memindahkan kerusakan atau bahaya tersebut, dari suatu daerah ke daerah lain,
atau mengubahnya dari suatu jenis pencemaran ke pencemaran lain (Pasal 195).
Kemudian Pasal 196
Konvensi ini memberikan kewajiban kepada setiap negara untuk mengambil segala
tindakan guna mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut
yang diakibatkan oleh penggunaan teknologi di bawah yurisdiksi atau
pengawasannya. Hal tersebut dapat dilakukan misalnya dengan cara mengatur,
menilai, dan menganalisa berdasarkan metode ilmiah mengenai resiko atau akibat pencemaran
lingkungan laut (Pasal 204).
Konvensi
ini memberikan kewajiban kepada setiap negara untuk melakukan kerjasama baik
regional maupun global guna melindungi dan melestarikan lingkungan lautnya,
kewajiban tersebut diletakkan pada Pasal 197-201 UNCLOS 1982.
Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa
kerja sama dalam pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama
bahaya atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against pollution),
kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur
prosedur dan praktik bagi pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran
lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 198-201 UNCLOS 1982. [9]
UNCLOS 1982 menentukan bahwa negara-negara maju memiliki kewajiban
untuk memberikan bantuan secara teknis kepada negara berkembang dalam rangka
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Bantuan teknis
tersebut dapat berupa pelatihan tenaga
teknis dan ilmiah, partisipasi dalam program-program internasional, bantuan peralatan, pelatihan
pembuatan pralatan-peralatan yang diperlukan, dan pengembangan riset, monitoring,
pendidikan, dan program-program
lainnya (Pasal 202).
Untuk tujuan pencegahan,
pengurangan, dan pengendalian lingkungan laut, negara-negara berkembang harus
diberikan perlakuan khusus oleh organisasi-organisasi internasional dalam
alokasi dana dan bantuan teknis beserta
pemanfaatannya (Pasal 203).
Konvensi
ini mengatur mengenai kewajiban untuk membuat peraturan perundang-undangan
tentang pencegahan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari segala sumber,
yaitu sumber dari darat, kegiatan-kegiatan di bawah yurisdiksi negara,
kendaraan air, dumping, dan udara/atmosfer. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal
207-212.
Pembuatan
peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan
laut yang diwajibkan oleh UNCLOS 1982
tersebut harus diikuti dengan penegakan hukumnya. Penegakan hukum tersebut
harus dilakukan oleh negara-negara bendera, negara pelabuhan, dan negara
pantai. Sebagaimana diatur dalam Pasal 213-222 UNCLOS 1982.
Penegakan hukum oleh negara pelabuhan, negara
bendera, dan negara pantai harus diikuti dengan tindakan pengamanan. Hal ini
sesuai dengan Pasal 223-233 UNCLOS
1982. Pengamanan tersebut berupa fasilitas dalam hal penuntutan. Misalnya,
pengadilan yang berwenang, perlengkapan armada penangkapan kapal asing yang
diduga melakukan pelanggaran seperti kapal perang/militer dengan sumber daya
manusia yang memadai. Tetapi tindakan pengamanan ini, tidak boleh mengganggu
keselamatan pelayaran.
Dalam Pasal 235 konvensi ini menegaskan bahwa setiap
negara bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban-kewajiban internasional yang
menyangkut perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Karena itu, setiap
negara harus menjamin tersedianya upaya dalam sistem perundang-undangannya
mengenai cara memperoleh ganti rugi yang segera dan memadai yang berkenaan
dengan kerusakan yang disebabkan oleh orang perorangan atau badan hukum yang
berada di bawah yurisdiksinya. Untuk menjamin hal tersebut, maka setiap negara
harus bekerjasama dalam mengimplementasikan hukum internasional yang mengatur
tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat
pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya.
Ketentuan tentang perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut dalam Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut tidak berlaku bagi
kapal perang, kapal bantuan, kapal atau pesawat udara lainnya yang dioperasikan
negara untuk kepentingan pemerintah yang bukan komersial, tetapi operasi tersebut
harus sesuai dengan konvensi sebagaimana diatur oleh Pasal 236-237.
Sebagai langkah awal dari tindak lanjut UNCLOS 1982, maka pada tahun 1996, dikeluarkanlah Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia. Undang-undang ini merupakan
payung bagi peraturan perundang-undangan lainnya di bidang kelautan, termasuk
perlindungan lingkungan laut.
Undang-undang ini menyebutkan bahwa, pemanfaatan, pengelolaan,
perlindungan, dan pelestarian fungsi lingkungan perairan Indonesia dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum
internasional. Berikut ini akan dibahas beberapa hal penting yang berkaitan
dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut di Indonesia, yaitu:
Menurut
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH), perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
bertujuan untuk: “melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.
Jika
dikaitkan dengan lingkungan laut, ketentuan Pasal 3 huruf a UUPPLH ini
bertujuan untuk melindungi perairan Indonesia dari berbagai kerusakan yang
diakibatkan oleh kegiatan yang dilakukan di luar maupun di dalam yurisdiksi
Indonesia.
Jadi,
Undang-undang ini dapat diberlakukan terhadap kegiatan-kegiatan yang
menyebabkan kerusakan atau pencemaran laut, yang dilakukan di dalam maupun di
luar yurisdiksi Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 67
Undang-undang ini menentukan bahwa "Setiap orang berkewajiban memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran
dan perusakan lingkungan hidup". Karena itu, apabila terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan ini, asas tanggung jawab mutlak (strict liability) dapat diterapkan, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 88 Undang-undang ini. Ketentuan Pasal 88 UUPLH ini telah sejalan dengan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 235 UNCLOS
1982 mengenai tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi.
Selain
UUPPLH, pengaturan hukum perlindungan lingkungan laut juga dirumuskan dalam
Peraturan Perundang-Undangan sektoral, yaitu Undang-undang Nomor 1 tahun 1973
tentang Landas Kontinen Indonesia dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Pasal 8 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973, mewajiban setiap
orang yang melakukan kegiatan-kegiatan di Landas Kontinen Indonesia agar
mengambil langkah untuk mencegah terjadinya pencemaran air laut di landas
kontinen Indonesia dan udara di atasnya. Kemudian dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983,
mewajibkan kepada setiap orang yang melakukan kegiatan di ZEEI untuk mengambil
langkah-langkah guna mencegah, mengurangi dan menanggulangi pencemaran
lingkungan laut. Sehingga apabila terjadi
kerusakan atau pencemaran, maka setiap pelaku pengrusakan dan pencemaran
tersebut akan dibebankan tanggungjawab mutlak dan membayar biaya rehabilitasi lingkungan laut
dengan segera dan dalam jumlah yang memadai. Selain
tanggung jawab mutlak berupa ganti rugi, Undang-undang ini juga memuat tentang
sanksi pidana terhadap pelaku pengrusakan atau pencemaran di ZEEI. Ketentuan
ini diatur dalam Pasal 16 ayat 3.
Jika
melihat materi muatan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 Tentang Landas
Kontinen Indonesia maka akan didapati adanya kelemahan dan kekurangan dalam UU
tersebut yaitu Pembentukan Undang-undang ini, masih berlandaskan pada konsep
Landas Kontinen yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1958 yang merupakan ketentuan
lama sebelum UNCLOS 1982. Sedangkan
isi dari Konvensi Jenewa 1958 sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan yang
terdapat pada UNCLOS 1982, misalnya
mengenai batasan Landas Kontinen, penetapan garis batas landas kontinen, dan
lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 1 huruf a Undang-undang Landas Kontinen Indonesia, yang menyatakan bahwa:
”Landas
Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan
wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp.
Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih mungkin
diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam”.
Jika
melihat bunyi pasal di atas, jelaslah bahwa dasar yang digunakan oleh
Undang-undang ini dalam penentuan batasan Landas Kontinen Indonesia sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum laut saat ini (UNCLOS 1982), karena Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 Tentang
Perairan Indonesia masih mengadopsi konsep Landas Kontinen yang ada dalam
Konvensi Jenewa 1958. Selain itu, Undang-undang ini juga telah dicabut dan
digantikan dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia,
yang telah mengadopsi ketentuan-ketentuan UNCLOS
1982.
Selanjutnya,
pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan suatu aturan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah (PP) yang mengatur pencemaran secara khusus yaitu Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. PP Nomor 19 Tahun 1999 menyatakan bahwa
setiap orang, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan
perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran/kerusakan laut. Selain itu, PP
Nomor 19 Tahun 1999 juga mengisyaratkan bahwa setiap orang atau penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan tidak hanya wajib melakukan pencegahan terjadinya
pencemaran lingkungan, namun wajib pula melakukan penanggulangan pencemaran
dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya, melakukan pemulihan
mutu laut.
Meskipun telah ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai
pencemaran yaitu PP Nomor 19 tahun 1999. Tetapi, muatan materi dari PP tersebut
belum memadai dan belum mengakomodir semua ketentuan-ketentuan yang diwajibkan UNCLOS 1982 di bidang perlindungan
lingkungan laut khususnya pada Bagian 5 Bab XII (Pasal 207 sampai 212) UNCLOS 1982.
Selanjutnya, ketentuan
mengenai perlindungan lingkungan laut juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran yang
mana dalam Undang-undang tersebut mengamanatkan Perlindungan Lingkungan
Maritim di dalamnya. Perlindungan
lingkungan maritim yang dimaksud dalam Undang-undang ini adalah kondisi
terpenuhinya prosedur dan persyaratan pencegahan dan penanggulangan pencemaran
dari kegiatan kepelabuhanan, pengoperasian kapal. Pengangkutan limbah dan bahan
bahan berbahaya di perairan, dan pembuangan limbah di perairan.
Dalam hal perlindungan dan pengelolaan sumber daya hayati di laut,
Pasal
4 ayat 1 Undang-undang ZEEI menyatakan bahwa di
ZEE, Indonesia mempunyai dan melaksanakan hak-hak berdaulat untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati
dan non hayati di dasar laut dan tanah dibawahnya serta air di atasnya dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi
ekonomis zona tersebut, misalnya, pembangkit tenaga dari air, arus dan angin.
Selanjutnya, kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi kekayaan alam di Zona ini, misalnya sumber daya ikan harus dilakukan dengan seizin Pemerintah
Indonesia atau berdasarkan persetujuan internasional dengan Pemerintah Republik
Indonesia.
Selanjutnya
dalam Undang-undang Nomor
31 Tahun 2004 Tentang perikanan menyatakan
bahwa wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia, meliputi perairan Indonesia dan ZEEI. Sedangkan
perairan di luar batas yurisdiksi nasional diselenggarakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, persyaratan, dan/atau standar internasional yang
diterima secara umum.
Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia bertujuan agar tercapainya pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan serta
terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukanlah upaya konservasi ekosistem,
konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. Karena itu, setiap orang
dilarang melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,
dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia. Kemudian di dalam Undang-undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan menyatakan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa
dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan
yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Tujuan dari
Penetapan larangan tersebut adalah agar terjadi konservasi sumber daya ikan.
Karena penggunaan alat penangkapan ikan dengan menggunakan alat penangkapan yang
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dikhawatirkan akan terjadi
pengurangan terhadap sumber daya ikan yang terdapat di sekitar wilayah laut dan
pesisir tersebut.[10]
Jadi,
kedua Undang-undang Perikanan ini tidak dapat dipisahkan dan bersifat saling melengkapi,
sehingga dapat dianggap sebagai Undang-undang yang mengatur aspek aspek yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggungjawab. Dengan
demikian ketentuan Undang-undang Perikanan telah mengimplementasikan beberapa
ketentuan UNCLOS 1982 dan Persetujuan
PBB tentang Persediaan Ikan 1995.
Kemudian,
Undang-undang perikanan ini juga memiliki kelebihan yaitu ketentuan
Undang-undang ini tetap berlaku bagi kapal berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan, meskipun berada di luar wilayah perikanan Republik Indonesia
yaitu laut lepas.
Selanjutnya,
peraturan tentang perlindungan spesies juga terdapat dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya beserta
peraturan turunannya. Tujuan dari konservasi sumber daya alam hayati menurut
Undang-undang ini adalah a) mewujudkan kelestarian sumber daya hayati; b) untuk
keseimbangan ekosistem; c) upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.
Konservasi
sumber daya alam dan ekosistemnya dilakukan melalui tiga kegiatan, yakni a)
perlindungan sistem penyangga kehidupan;b) pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; c) pemanfaatan secara lestari sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya.[11]
Berbeda
dengan Undang-undang Perikanan, yang tidak mengatur perlakuan yang dilarang
terhadap biota laut yang dilindungi, tetapi di dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1990 secara tegas menetapkan bahwa setiap orang dilarang untuk:
a.
Menangkap,
melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
b.
Menyimpan,
memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan satwa yang dilindungi dalam
keadaan mati.
c.
Mengeluarkan
satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia.
d.
Memperniagakan,
menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang
dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut
atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam
atau di luar Indonesia.
e.
mengambil,
merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau
sarang satwa yang dilindungi.
Perlindungan dan pengelolaan sumber daya hayati tidak
hanya terbatas pada sumber daya ikan, dan spesies yang terancam punah
semata.
Tetapi juga meliputi perlindungan dan pelestarian
terhadap terumbu karang yang merupakan rumah bagi makhluk hidup yang ada di
laut. Karena itu, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang
Perikanan telah menetapkan berbagai upaya dalam menjaga keberlanjutan
sumberdaya perikanan,
termasuk di dalamnya adalah terumbu karang.
Dalam menjamin terlaksananya
upaya-upaya tersebut di atas, maka
diterapkanlah sanksi bila
terjadi pelanggaran. Sanksi akan dikenakan misalnya bila secara sengaja
seseorang melakukan penangkapan ikan dan/atau melakukan budidaya menggunakan bahan peledak, bahan
kimia, bahan biologis, dan/atau dengan cara-cara yang merusak.
Namun, Undang-Undang Perikanan tidak secara khusus mengatur tentang
pengelolaan terumbu karang. Karena itu, diterbitkanlah Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 38/Men/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan
Terumbu Karang. Dengan berpegang pada pedoman ini diharapkan pengelolaan
terumbu karang dilakukan secara seimbang antara pemanfaatan dan pelestarian. Untuk mencapai harapan di atas, maka
dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut, ditetapkan 9 strategi yang mencakup:
a.
Strategi 1. Memberdayakan masyarakat pesisir
yang secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada pengelolaan
ekosistem terumbu karang;
b.
Strategi 2.
Mengurangi laju degradasi terumbu karang;
c.
Strategi 3. Mengelola terumbu karang berdasarkan karakteristik
ekosistem, potensi, tata ruang wilayah, pemanfaatan, status hukum, dan kearifan
masyarakat pesisir;
d.
Strategi 4.
Merumuskan dan mengkoordinasikan program-program instansi
pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pihak swasta, dan
masyarakat yang diperlukan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis
masyarakat;
e.
Strategi 5. Menciptakan dan memperkuat komitmen, kapasitas, dan
kapabilitas pihak-pihak pelaksana pengelola ekosistem terumbu karang;
f.
Strategi 6. Mengembangkan, menjaga serta meningkatkan dukungan
masyarakat luas dalam upaya-upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara
nasional dengan meningkatkan kesadaran seluruh lapisan masyarakat mengenai arti
penting nilai ekonomis dan ekologis dari terumbu karang;
g.
Strategi 7. Menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan
serta mendefinisikan kembali kriteria
keberhasilan pembangunan suatu wilayah agar lebih relevan dengan upaya
pelestarian lingkungan ekosistem terumbu karang;
h.
Strategi 8. Meningkatkan dan memperluas kemitraan antara pemerintah,
pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, swasta, LSM, dan masyarakat
untuk mengembangkan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dalam rangka
pemanfaatan sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan;
i.
Strategi 9. Meningkatkan dan mempertegas komitmen pemerintah,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan masyarakat serta mencari
dukungan lembaga dalam dan luar negeri dalam penyediaan dana untuk mengelola
ekosistem terumbu karang.
c. Kerjasama Internasional di Bidang Perlindungan Lingkungan Laut
Berikut ini akan diuraikan secara singkat kerjasama
internasional yang telah dilakukan Indonesia. sebagai berikut:
1. Deklarasi
Kelautan Manado
(Manado Ocean Declaration) Tahun
2009
Deklarasi Kelautan Manado disepakati dalam Konferensi
Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) di Manado. Deklarasi ini terdiri
atas 14 paragraf pembuka inti dan 21 poin kesepakatan operatif. Beberapa poin
hasil kesepakatan Deklarasi Kelautan Manado, antara lain:
a)
Komitmen negara-negara untuk
melakukan konservasi laut jangka panjang, menerapkan manajemen pengelolaan
sumber daya laut dan daerah pantai dengan pendekatan ekosistem (Poin 1);
b)
Strategi nasional untuk
pengelolaan ekosistem laut dan kawasan pantai terutama mangrove, lahan basah, lamun, dan terumbu
karang (Poin 2)
c)
Kesepakatan untuk mengurangi pencemaran laut,
daerah pesisir dan daratan dan memajukan pengelolaan perikanan berkelanjutan
yang sesuai dengan perjanjian dan peraturan internasional yang relevan dalam
rangka meningkatkan kesehatan dan daya lenting ekosistem pesisir dan laut (Poin
4);
d)
Dukungan finansial dan insentif
untuk membantu negara-negara berkembang mewujudkan lingkungan yang baik bagi
komunitas yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim (Poin 10);
e)
Kerja sama pada tingkat nasional
dan regional, serta membangun area perlindungan laut (Poin 14 dan 15).
2.
Memorandum of Understanding (MoU) between the Government of
Australia and Indonesia on Oil Pollution Preparedness and Response 1996
MoU ini bertujuan untuk menjaga dan
mempertahankan hubungan kerjasama antara kedua negara dalam hal penanggulangan
pencemaran laut, terutama kondisi darurat di wilayah kedua negara tersebut. Beberapa
butir-butir
kerjasama
MoU
ini, sebagai berikut:[12]
a.
Promosi
kerjasama yang saling menguntungkan dalam tahap kesiapan guna merespon polusi
minyak di laut;
b.
Kerjasama
pertukaran informasi terhadap insiden pencemaran minyak di laut;
c.
Inspeksi
lapangan pada lokasi insiden minyak di laut yang sedang terjadi dengan
kerjasama yang saling menguntungkan antar kedua belah pihak;
d.
Pelatihan
dan pendidikan bersama untuk capacity building yang lebih baik;
e.
Promosi
untuk melakukan riset dan penelitian di dalam menciptakan ukuran (measures),
teknik , standar dan peralatan yang diperlukan;
f.
Kerjasama
tanggap darurat seperti mobilisasi personil, logistik dan peralatan lain yang
dibutuhkan di dalam situasi darurat, dan lain-lain.
3. MoU Sulawesi Sea Oil Spill Response Network Plan 1981
Kerjasama ini dilakukan antara Indonesia, Malaysia dan
Filipina tentang Penanggulangan Pencemaran oleh Minyak di Laut Sulawesi. Isi
dari kesepakatan ini adalah sebagai berikut:[13]
a.
Kerjasama antara Indonesia,
Malaysia, dan Filipina di dalam hal menghadapi tumpahan minyak di sepanjang
Selat Makasar, Laut Sulawesi dan Laut Sulu.
b.
Pelatihan personil tahunan di
dalam konteks MARPOLEX, dan isu terkait
lainnya.
c.
Mekanisme komunikasi antara
focal point di masing-masing negara dalam hal perencanaan suatu operasi oil
spill combat, dan lain lain.
4. Marine Pollution
Exercise (MARPOLEX )
The Regional
MARPOLEX diselenggarakan setiap dua tahun sekali secara bergantian oleh
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan RI dan Philippines Coast Guard. Kegiatan ini merupakan implementasi dari Sulawesi Sea Oil Spill Response Network Plan 1981. Latihan
gabungan yang diadakan setiap dua tahun ini merupakan bentuk implementasi dari perjanjian
tersebut. Tetapi, hingga saat
ini hanya Indonesia dan Filipina yang berpartisipasi dalam latihan tersebut.
5. MoU between Indonesia-Malaysia-Singapore with the Malacca
Straits Council on the Establishment of Revolving Fund Committee 1981
Kerjasama ini bertujuan untuk membuat skema sumber dana “on-call”
atau dana talangan apabila terjadi operasi penanggulangan pencemaran minyak di
laut yang berasal dari tumpahan kapal yang berlokasi di Selat Malaka dan
Singapura.
Salah satu dari tiga
negara pesisir tersebut diperbolehkan
untuk menarik uang tunai dari dana tersebut untuk digunakan dalam
mengatasi pencemaran laut oleh minyak
yang disebabkan oleh kapal di wilayahnya.
Berdasarkan MoU ini, negara Indonesia,
Malaysia dan Singapura, masing-masing akan mengelola dana tersebut secara
berotasi atau bergantian dalam jangka waktu lima tahun.
6.
MoU for ASEAN Oil
Spill Response Action Plan (ASEAN-OSRAP)
The ASEAN-OSRAP diadopsi pada tahun
1993, MoU ini bertujuan untuk
membantu badan-badan pemerintah negara anggota ASEAN dalam menanggapi dan
merespon tumpahan minyak. Kerjasama
mengandung poin-poin kerjasama sebagai berikut:[14]
a.
Meningkatkan kemampuan negara
peserta untuk merespon insiden pencemaran minyak di laut yang terjadi di
wilayah negara-negara ASEAN;
b.
Membentuk skema kerjasama untuk
pemberian bantuan yang saling menguntungkan diantara negara anggota ASEAN;
c.
Membuat prosedur pengelolaan
bencana di dalam merespon insiden pencemaran minyak di laut yang terjadi di
wilayah negara-negara ASEAN;
d.
Membuat skema bantuan eksternal
dan internal yang diperlukan di dalam merespon insiden pencemaran minyak di laut
yang terjadi di wilayah negara ASEAN, dan lain-lain.
Baru-baru ini,
yaitu pada tanggal 19-21 Maret 2012, Indonesia terpilih menjadi tuan rumah
dalam penyelenggaraan lokakarya ASEAN-OSRAP. Kegiatan ini merupakan
agenda Organisasi Maritim Internasional (IMO) yang bekerja sama dengan Asosiasi
Industri Migas Global untuk Isu Lingkungan dan Sosial. Tujuan dari kegiatan ini
adalah untuk meninjau dan mematangkan rencana kerja regional serta
memfasilitasikan kerja sama yang harmonis antara pemangku kepentingan terkait
penanggulangan pencemaran di kawasan ASEAN.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah
diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut:
1.
UNCLOS 1982 secara
lengkap mengatur mengenai
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dalam suatu Bab, yaitu Bab XII yang terdiri atas 45
pasal (192-237). Dalam Bab tersebut terdapat
beberapa aspek penting yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut, yaitu adanya kewajiban
umum negara-negara dalam hal perlindungan lingkungan laut (Pasal 192-193), kewajiban negara dalam hal
pencemaran (Pasal 194-196), kerjasama global dan regional dalam rangka
perlindungan lingkungan laut (Pasal 197-201), bantuan teknik (Pasal
202-203), monitoring
dan analisa lingkungan (Pasal 204-206), pembuatan peraturan perundang-undang disertai penegakan hukumnya (Pasal
207-234), tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi (Pasal 235), hak kekebalan
(Pasal 236), kewajiban-kewajiban berdasarkan
konvensi lain mengenai perlindungan
lingkungan laut (Pasal 237).
2.
Indonesia
telah mengeluarkan beberapa Peraturan Perundang-Undangan yang menyangkut
masalah perlindungan lingkungan laut dan perlindungan ekosistem yang ada di
laut. Namun, dari
beberapa peraturan tersebut, masih ditemukan adanya kelemahan dan kekurangan
yang terdapat di dalamnya. Misalnya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973
Tentang Landas Kontinen, dimana Pembentukan Undang-undang ini, masih
berlandaskan pada konsep Landas Kontinen yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1958
yang merupakan ketentuan lama sebelum UNCLOS
1982. Kekurangan lain juga ditemukan dalam PP Nomor 19 tahun 1999 tentang
pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan laut, dimana muatan materi dari PP
tersebut belum memadai dan belum mengakomodir semua ketentuan-ketentuan yang
diwajibkan UNCLOS 1982 khususnya pada
Bagian 5 Bab XII (Pasal 207 sampai 212). Selain itu, Indonesia juga telah
melakukan beberapa kerja sama internasional dalam rangka perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut baik secara global, regional, bilateral dan
multilateral. Semua ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk
tanggung jawab Indonesia terhadap kewajiban-kewajiban yang diamanatkan oleh UNCLOS
1982 khususnya mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
DAFTAR PUSTAKA
Dikdik
Mohammad Sodik. 2011. Hukum Laut
Internasional dan Pengaturannya di Indonesia. Refika Aditama, Bandung.
FX.
Adji Samekto. 2009.
Negara Dalam
Dimensi Hukum Internasional. Citra Aditya Bakti, Bandung.
H.Supriadi dan Alimuddin. 2011.
Hukum Perikanan di Indonesia. Sinar grafika, Jakarta.
Hasjim Djalal. 1979. Perjuangan Indonesia di
Bidang Hukum Laut. Binacipta, Bandung.
Melda
Kamil Ariadno. 2007. Hukum Internasional
Hukum yang Hidup. Diadit Media, Jakarta.
Sukanda Husin. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika,
Jakarta.
Dewan Kelautan Indonesia. 2008. Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi
UNCLOS 1982 di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia.
Suhaidi.
2006.
Perlindungan Lingkungan Laut:
Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran
Internasional Di Perairan Indonesia. Pidato pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum
Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Ferry junigwan. Pencemaran Laut Lintas Batas dan Prosedur Penyelesaian di Dalam UNCLOS
1982. Di http://ferryjunigwan.wordpress.com/2011/01/27/pencemaran-lingkungan-laut-lintas-batas-dan-prosedur-penyelesaian-perselisihan-di-dalam-unclos-1982/
(diakses pada
tanggal 8 april 2014)
Gea
Geo. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak Di
Indonesia. di
(diakses pada tanggal 7 april 2014)
Steffi Dwithasari. Kajian
MoU 1996. Di http://id.scribd.com/doc/69253986/Kajian-MOU-1996-terhadap-tumpahan-minyak (diakses pada
tanggal 8 april 2014)
[2] Dikdik Mohammad Sodik. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya
di Indonesia. Refika Aditama, Bandung.
2011. hal. 1
[3] Suhaidi. Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya
Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional
Di Perairan Indonesia. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang
Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2006.
hal.
3
[4] FX. Adji
Samekto. Negara Dalam Dimensi Hukum
Internasional. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2009. hal.
35-36
[6] Gea Geo. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak Di Indonesia. di
(http://ghea-geo.blogspot.com/2011/01/beberapa-kasus-tumpahan-minyak-di.html)
[7] Dikdik mohammad Sodik. Op.cit. hal. 231
[8]Dewan Kelautan Indonesia. Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi
UNCLOS 1982 di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia. 2008. hal. 11
[12] Steffi
Dwithasari. Kajian MoU 1996. Di (http://id.scribd.com/doc/69253986/Kajian-MOU-1996-terhadap-tumpahan-minyak)
[13] Ferry junigwan. Pencemaran Laut Lintas Batas dan Prosedur
Penyelesaian Di Dalam UNCLOS 1982. Di
(http://ferryjunigwan.wordpress.com/2011/01/27/pencemaran-lingkungan-laut-lintas-batas-dan-prosedur-penyelesaian-perselisihan-di-dalam-unclos-1982/)
[14]
Ferry Junigwan. Di
(http://ferryjunigwan.wordpress.com/2011/01/27/pencemaran-lingkungan-laut-lintas-batas-dan-prosedur-penyelesaian-perselisihan-di-dalam-unclos-1982/)
0 komentar:
Post a Comment
BERKOMENTARLAH DENGAN BAIK DAN SOPAN!