MAKALAH ETIKA PROFESI HUKUM TENTANG PENGACARA (ADVOKAT)

Home » » MAKALAH ETIKA PROFESI HUKUM TENTANG PENGACARA (ADVOKAT)


BAB I

Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam usaha mewujudkan prinsip tersebut dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting disamping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Secara historis, Advokat termasuk salah satu profesi yang tertua. Dalam perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium nobile, jabatan yang mulia. Penamaan itu terjadi adalah karena aspek “kepercayaan” dari (pemberi kuasa, klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di forum yang telah ditentukan.[1]

Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan kita, pertama ditemukan dalam ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO). Advokat itu merupakan padanan dari kata Advocaat (Belanda) yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Lebih jauh lagi, sesungguhnya akar kata itu berasal dari kata latin “advocare, advocator”. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau hampir di setiap bahasa di dunia kata (istilah) itu dikenal.
Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat harus diikuti oleh adanya tanggung jawab dari masing-masing advokat dan organisasi profesi yang menaunginya. Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa organisasi advokat wajib menyusun kode etik advokat untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat sebagai profesi yang terhormat dan mulia (officium mobile), sehingga setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik tersebut.
Dalam pembukaannya, Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa kode etik tersebut sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi advokat, yang menjamin dan melindungi namun juga membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggun jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara, atau masyarakat, dan terutama kepada dirinya sendiri. Dan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik tersebut, maka organisasi advokat membentuk suatu dewan kehormatan yang juga berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh advokat.
1.      Bagaimana peranan Advokat dalam penegakan hukum di indonesia?
2.      Apa  saja hak dan kewajiban dari Advokat?
3.      Sejauh mana batas-batas kewenangan dari Advokat?
1.      Untuk mengetahui peranan Advokat dalam penegakan hukum di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui hak dan kewajiban Advokat
3.      Untuk mengetahui kewenangan Advokat.

Menurut Undang-undang no.18 tahun 2003 tentang Advokat yang dimaksud Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 3 UU Advokat.
Secara normatif, Undang-undang Advokat juga menegaskan bahwa peran advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Namun, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain. Dalam konsep trias politica tentang pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Penegak hukum yang terdiri dari hakim, jaksa, dan polisi memiliki kekuasaan yudikatif dan eksekutif. Dalam hal ini hakim sebagai penegak hukum yang menjalankan kekuasaan yudikatif mewakili kepentingan negara dan jaksa serta polisi yang menjalankan kekuasaan eksekutif mewakili kepentingan pemerintah. Bagaimana dengan Advokat?
Advokat dalam hal ini tidak termasuk dalam lingkup ketiga kekuasaan tersebut (eksekutif, legislative, dan yudikatif). Advokat sebagai penegak hukum menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri untuk mewakili kepentingan masyarakat (klien) dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan negara (yudikatif dan eksekutif). Dalam mewakili kepentingan klien dan membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan adanya ketentuan advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien.[2]
Profesi Advokat yang bebas mempunyai arti bahwa dalam menjalankan profesinya membela masyarakat dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran hukum tidak mendapatkan tekanan darimana pun juga. Kebebasan inilah yang harus dijamin dan dilindungi oleh UU yaitu UU no.18 tahun 2003 tentang Advokat agar jelas status dan kedudukannya dalam masyarakat, sehingga bisa berfungsi secara maksimal.
Peran Advokat tersebut tidak akan pernah lepas dari masalah penegakan hukum di Indonesia. Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau diberlakukan. Dalam masyarakat sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui prosedur dan mekanisme yang sederhana pula. Namun dalam masyarakat modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat spesialisasi dan diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian penegakan hukumnya menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis. Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin kompleks dan semakin birokratis proses penegakan hukumnya. Sebagai akibatnya yang memegang peranan penting dalam suatu proses penegakan hukum bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun juga organisasi yang mengatur dan mengelola operasionalisasi proses penegakan hukum.[3]
Secara sosiologis, ada suatu jenis hukum yang mempunyai daya laku lebih kuat dibanding hukum yang lain. Didapati hukum sebagai produk kekuasaan ternyata tidak sesuai dengan hukum yang nyata hidup dalam masyarakat. Berdasar fenomena tersebut, maka peran advokat dalam menegakkan hukum akan berwujud, yaitu:
·         Mendorong penerapan hukum yang tepat untuk setiap kasus atau perkara.
·         Mendorong penerapan hukum tidak bertentangan dengan tuntutan kesusilaan, ketertiban umum dan rasa keadilan individual dan sosial.
·         Mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus perkara, bukan sebaliknya menempuh segala cara agar hakim tidak netral dalam menerapkan hukum. Karena itu salah satu asas penting dalam pembelaan, apabila berkeyakinan seorang klien bersalah, maka advokat sebagai penegak hukum akan menyodorkan asas “clemency” atau sekedar memohon keadilan.
Selain peran diatas, Advokat juga memiliki peran dalam pengawasan penegakan hukum, penjaga kekuasaan kehakiman dan sebagai pekerja sosial. peran tersebut akan di jabarkan sebagai berikut:
1.      Peran Advokat sebagai pengawas penegakan hukum
Fungsi pengawasan penegakan hukum terutama dijalankan oleh perhimpunan advokat. Pengawasan ini mencakup dua hal yaitu:
Internal, secara internal peran himpunan advokat harus dapat menjadi sarana efektif mengawasi tingkah laku advokat dalam profesi penegakan hukum atau penerapan hukum. Harus ada cara- cara yang efektif untuk mengendalikan advokat yang tidak mengindahkan etika profesi dan aturan-aturan untuk menjalankan tugas advokat secara baik dan benar.
Eksternal, secara eksternal baik himpunan advokat maupun advokat secara individual harus menjadi pengawas agar peradilan dapat berjalan secara benar dan tepat. Bukan justru sebaliknya, advokat menjadi bagian dari upaya menghalangi suatu proses peradilan.
2.      Peran Advokat sebagai penjaga Kekuasaan Kehakiman
Perlindungan atau jaminan kehakiman yang merdeka tidak boleh hanya diartikan sebagai bebas dari pengaruh atau tekanan dari kekuasaan Negara atau pemerintahan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka harus juga diartikan sebagai lepas dari pengaruh atau tekanan publik, baik yang terorganisasi dalam infra struktur maupun yang insidental. Tekanan itu dapat dalam bentuk melancarkan tekanan nyata, membentuk pendapat umum yang tidak benar, ancaman dan pengrusakan prasarana dan sarana peradilan. Tekanan tersebut dapat pula bersifat individual dalam bentuk menyuap penegak hukum agar berpihak. Advokat sebagai penegak hukum, terutama yang terlibat dalam penyelenggaraan kehakiman semestinya ikut menjaga agar kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat berjalan sebagaimana mestinya.
3.      Peran Advokat sebagai pekerja sosial
Pekerja sosial dalam hal ini adalah pekerja sosial di bidang hukum. Sebagaimana diketahui, betapa banyak rakyat yang menghadapi persoalan hukum, tetapi tidak berdaya. Mereka bukan saja tidak berdaya secara ekonomis tetapi mungkin juga tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Berdasar hal tersebut, maka persoalan- persoalan hukum yang yang dihadapi rakyat kecil dan lemah yang memerlukan bantuan, termasuk dari para advokat. UU Advokat pasal 21 dalam hal ini memaparkan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Dari Berbagai peran advokat tersebut memberikan pemahaman bahwa advokat adalah seorang ahli hukum yang memberikan jasa atau bantuan hukum kepada kliennya. Bantuan hukum tersebut bisa berupa nasehat hukum, pembelaan atau mewakili (mendampingi) kliennya dalam beracara dan menyelesaikan perkara yang diajukan ke pengadilan.
Hak dan Kewajiban serta larangan Bagi Advokat Telah Diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, sebagai berikut:
Pasal 14
“Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 15
“Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 16
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Pasal 17
“Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 18
  1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
  2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
Pasal 19
  1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
  2. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.
Pasal 20
  1. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.
  2. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
  3. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.
Pasal 21
  1. Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
  2. Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Problematika secara sosiologis keberadaan advokat di tengah-tengah masyarakat seperti buah simalakama. Fakta yang tidak terbantahkan adalah keberaaan advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum. Tetapi ada juga sebagian masyarakat menilai bahwa keberadan advokat dalam sistem penegakan hukum tidak diperlukan, penelitian negatif ini tidak terlepas dari sepak terjang dari advokat sendiri yang kadang kala menjalankan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum tidak sesuai dengan harapan dan yang paling disayangkan adalah sebagian kecil advokat menjadi bagian dari mafia peradilan.
Kedudukan advokat dalam sistem penegakan hukum sebagai penegak hukum dan profesi terhormat. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya advokat seharusnya dilengkapi oleh kewenangan sama dengan halnya dengan penegak hukum lain seperti polisi, jaksa dan hakim.
Kewenangan advokat dalam sistem penegakan hukum menjadi sangat penting guna menjaga keindependensian advokat dalam menjalanakan profesinya dan juga menghindari adanya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penegak hukum yang lain.
Aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa dan polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya diberikan kewenangan tetapi Advokat dalam menjalankan profesinya tidak diberikan kewenangan. Melihat kenyataan tersebut maka diperlukan pemberian kewenangan kepada advokat. Kewenangan tersebut diperlukan selain untuk menciptakan kesejajaran diantara aparat penegak hukum juga untuk menghindari adanya multi tafsir diantara aparat penegak hukum yang lain dan kalangan advokat itu sendiri terkait dengan kewenangan. Sementara UU No. 18/2003 tentang Advokat tidak mengatur tentang kewenangan Advokat di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Dengan demikian maka terjadi kekosongan norma hukum terkait dengan kewenangan Advokat tersebut. Perlu diketahui bahwa profesi advokat adalah merupakan organ negara yang menjalankan fungsi negara. Dengan demikian maka profesi Advokat sama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai organ negara yang menjalankan fungsi negara. Bedanya adalah kalau Advokat adalah lembaga privat yang berfungsi publik sedangkan Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman adalah lembaga publik. Jika Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya diberikan kewenangan dalam statusnya sebagai aparat penegak hukum maka kedudukannya sejajar dengan aparat penegak hukum yang lain. Dengan kesejajaran tersebut akan tercipta keseimbangan dalam rangka menciptakan sistem penegakan hukum yang lebih baik.
Kewenagan Advokat dari Segi Kekuasaan Yudisial Advokat dalam sistem kekuasaan yudisial ditempatkan untuk menjaga dan mewakili masyarakat. Sedangkan hakim, jaksa, dan polisi ditempatkan untuk mewakili kepentingan negara. Pada posisi seperti ini kedudukan, fungsi dan peran advokat sangat penting, terutama di dalam menjaga keseimbangan diantara kepentingan negara dan masyarakat. Ada dua fungsi Advokat terhadap keadilan yang perlu mendapat perhatian. Yaitu pertama kepentingan, mewakili klien untuk menegakkan keadilan, dan peran advokat penting bagi klien yang diwakilinya. Kedua, membantu klien, seseorang Advokat mempertahankan legitimasi sistem peradilan dan fungsi Advokat. Selain kedua fungsi Advokat tersebut yang tidak kalah pentingnya, yaitu bagaimana Advokat dapat memberikan pencerahan di bidang hukum di masyarakat. Pencerahan tersebut bisa dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan hukum, sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan, konsultasi hukum kepada masyarakat baik melalui media cetak, elektronik maupun secara langsung. Fakta yang tidak terbantahkan bahwa keberadaan Advokat sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tersandung perkara hukum, untuk menunjang eksistensi Advokat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegakan hukum, maka diperlukan kewenangan yang harus diberikan kepada Advokat. Kewenangan Advokat tersebut diperlukan dalam rangka menghindari tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang lain (Hakim, Jaksa, Polisi) dan juga dapat memberikan batasan kewenangan yang jelas terhadap advokat dalam menjalankan profesinya. Dalam praktik seringkali keberadaan Advokat dalam menjalankan profesinya seringkali dinigasikan (diabaikan) oleh aparat penegak hukum. Hal ini mengakibatkan kedudukan advokat “tidak sejajar” dengan aparat penegak hukum yang lain.
Dari kondisi itu tampak urgensi adanya kewenangan advokat didalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam sistem penegak hukum. Kewenangan advokat tersebut diberikan untuk mendukung terlaksananya penegakan hukum secara baik.


Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 3 UU Advokat. Advokat memiliki peranan dalam penegakan hukum, sebagai pengawas penegakan hukum, sebagai penjaga Kekuasaan Kehakiman dan sebagai pekerja sosial.
Selain memiliki peranan, Advokat juga memiliki Hak dan Kewajiban serta Larangan. Kesemua itu diatur dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat, yang termuat dalam pasal 14 sampai pasal 21 Undang-undang tersebut.
Kedudukan advokat dalam sistem penegakan hukum sebagai penegak hukum dan profesi terhormat. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya advokat seharusnya dilengkapi oleh kewenangan sama dengan halnya dengan penegak hukum lain seperti polisi, jaksa dan hakim.
Kewenagan Advokat dari Segi Kekuasaan Yudisial Advokat dalam sistem kekuasaan yudisial ditempatkan untuk menjaga dan mewakili masyarakat. Kewenangan advokat dalam sistem penegakan hukum menjadi sangat penting guna menjaga keindependensian advokat dalam menjalanakan profesinya dan juga menghindari adanya


[1] Luhut M.P. Pangaribuan. Advokat dan Contempt of Court Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi. Dalam Amir Syamsuddin. Tanggung Jawab Profesi Dan Etika Advokat. Di http://click-gtg.blogspot.com/2012/05/tanggung-jawab-profesi-dan-etika.html

[2] Pasal 3 dan 4 Kode Etik Advokat Indonesia
[3] Ika Wahyuni sherlyana. Peranan dan tanggung jawab profesi hukum Advokat indonesia. Di http://ika260691.blogspot.com/2013/01/peranan-dan-tanggung-jawab-profesi.html
.
Share this article :