Cerpen Guru
Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan
istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru.
Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong.
"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu?
Betul?!"
Taksu mengangguk.
"Betul Pak."
Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."
Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.
Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.
Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami
tidak setuju. Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu
saja pergi. Saya mulai bicara blak-blakan.
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
"Tapi saya mau jadi guru."
"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup
guru itu seperti apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi
rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek,
tetapi duit nol besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja
rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari
mengajar tapi dari tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai
cita-cita, buat ongkos jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu.
Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua.
Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada
guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram.
Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa
PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak
kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan
tenang dengan otak dingin!"
"Sudah saya pikir masak-masak."
Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu
bulan!" Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya
ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"
Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang
perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah
salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya.
"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak
perutnya saja sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"
Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak
disukainya, semua dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang
rata-rata begitu. Di luar bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri,
hancur.
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami
berdua datang lagi mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak
muncul dengan tangan kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran
Taksu. Saya sendiri membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai
kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat
terpukul. Ketika kami tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan,
Taksu memberi jawaban yang sama.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa. Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekali tanpa rasa berdosa. Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.
"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu
terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri
saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan, guru itu berbakti
kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasa pemerintah! Apa kamu
pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak
baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang? Ah?"
Taksu tidak menjawab.
Taksu tidak menjawab.
"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi
lihat sendiri, negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka
yakin, banyak orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu
kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau
banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu!
Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih
tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba
dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi
jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?"
Taksu tetap tidak menjawab.
"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu
sendiri bilang apa gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang
konkret. Yang konkret itu adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh
materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang
tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit.
Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu
materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan
hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"
Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"
Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya.
Akhirnya dia menyembur.
"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik.
"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik.
"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu,
sebelum ia kejeblos terlalu dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu
dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya.
Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi
mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa
nasehat kita!"
Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa
artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau
bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya,
jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih
kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur suami, dari perasaannya
sendiri.
Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta diperhatikan anak.
Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang selalu minta diperhatikan anak.
Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi.
Sekali ini saya datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan
mengambil kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya
hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji,
kalau memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya
akan saya serahkan, nanti.
"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan
kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi
hadiah buat Bapak."
Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk
memutuskan. Jadi, singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.
"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini
boleh kamu ambil sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau
jadi guru, sebab itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa
depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar,
punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu
berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami
sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu!
Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan
kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis
ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti
itu!"
Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya.
Taksu berpikir. Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia
memungut kunci itu lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas
telapak tangan saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya
tampar. Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak.
Untunglah iman saya cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya
genggam dan masukkan ke kantung celana.
"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."
"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."
Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar
naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak
ada orang yang bisa melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah
yang saya anggap sudah kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat
pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!
Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya
membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang
sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
"Mau jadi guru."
Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas
meja. Gelas di atas meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka
saya.
"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup
buat membuka mata dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru
kere itu? Kenapa kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"
"Karena saya ingin jadi guru."
"Karena saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi
guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja
bisa busuk lalu lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi.
Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa
yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."
Saya tercengang.
Saya tercengang.
"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau
jadi guru?"
"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya
tidak mau mati."
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.
"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang
sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah
mengindoktrinasi kamu, Taksu?"
Taksu memandang kepada saya tajam.
"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.
"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu!
Kamu jangan ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30
tahun yang lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau
main-main, kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang
ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya
layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu.
Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap,
kamu harus menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu
bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini.
Tahu?"
Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua
persepsinya tentang hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama
pacarnya si Mina yang mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke
masa depan yang gelap.
"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap.
"Kalau cinta bener buta apa gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip
iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi buta, itu
namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga
pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi
kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak
perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara
bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan
lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta
benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya
hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak
pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan
materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh
berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab?
Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya
ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi.
"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab
kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah
sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan
sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!
Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan
pada istri saya apa yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian.
Tetapi ternyata istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan.
Dan ketika kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak
habis-habisan.
"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti
itu!" teriak istri saya kalap. Saya bingung.
"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu!
Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu
namanya dagang! Masak sama anak dagang. Dasar mata duitan!"
Saya tambah bingung.
"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati
saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan
cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi
buatan dan akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya
gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung
dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan
dia kabur?
"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.
Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah
terlambat. Anak itu seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya
kembali. Rumah kost itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya,
yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku
hariannya itu. Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih
berarti dari kunci BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito
saya. Saya duduk di dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan.
Pikiran saya kacau. Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok?
Mau tak mau saya kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu.
Kembali saya memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan
yang mulia, padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran
listrik. Tetapi ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul
karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah
dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama
kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya
bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk
pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami
bertengkar keras.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya
begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah
menggantikan hidup saya memikul beban keluarga. Ia menjadi salah seorang
pengusaha besar yang mengimpor barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang
kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah mancanegara.
"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. ***
"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. ***
Mataram,
Jakarta, 22-10-01
***************************************************************************
***************************************************************************
Analisis
Cerpen “Guru” karya Putu Wijaya
1.
Dalam
penggunaan/pengucapan , masih terdapat penggunaan bahasa Indonesia yang tidak
baku atau bahasa gaul yang hanya dipahami oleh generasi muda sekarang dan
orang-orang tertentu.
2.
Ada isi cerpen yang
memojokan satu pihak tertentu, yaitu guru.
3.
Peranan tokoh Taksu
dalam cerpen “ GURU “, sangat baik dan
dapat menjadi motifasi bagi kita sebagai calon guru.
4.
Walaupun penggunaan
bahasa Indonesia yang tidak baku dalam cerpen “GURU” ini, Tetapi mudah dipahami
oleh para pembaca.
5.
Seharusnya penulis
dapat menguraikan secara jelas isi dari cepen tersebut agar tidak menimbulkan
pertanyaan untuk para pembaca.
6.
Dari cerpen ini banyak
sekali nilai-nilai moral yang dapat di petik yaitu tokoh Taksu yang ingin
sekali menjadi guru tetapi ditentang oleh kedua orang tuanya, dan Taksu masih
tetap teguh pada pendiriannya dengan dia harus menjadi guru karena menurut dia
begitu mulianya menjadi guru. Taksu berkata walaupun dia dibunuh tetapi hanya
jasadnya yang terkubur, tetapi ilmu yang dia ajarkan akan selalu diingat oleh
murid-muridnya.
0 komentar:
Post a Comment
BERKOMENTARLAH DENGAN BAIK DAN SOPAN!