MAKALAH HUKUM PERBANKAN: SEJARAH PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara umum
pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya
disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang
diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri,
yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba
Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas
kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam
mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut
“Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Undang-undang
Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya
untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan
kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan
batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah,
antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip
jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau
pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah),
atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Fungsi Bank
Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni
sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan
dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada
masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan
pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari
transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan
keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut
sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau
profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping
dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest
free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank
konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan
usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini
berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi
dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat
dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual
beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan
lain-lain.
Sudah cukup
lama umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia Islam (muslim world)
lainnya, menginginkan sistem perekonomian yang berbasis nilai-nilai dan prinsip
syariah (Islamic economic system) untuk dapat di terapkan dalam segenap aspek
kehidupan bisnis dan transaksi umat.
Sekarang,
saatnya kita membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah kita dapat
menghilangkan wabah negative spread “keuntungan minus” dari dunia perbankan.
B.
Rumusan Masalah
·
Apa
yang dimaksud dengan prinsip syariah?
·
Bagaimana
sejarah perkembangan Bank syariah di Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
·
Untuk
mengetahui apa itu prinsip syariah!
·
Untuk
mengetahui perkembangan bank syariah di Indonesia!
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN BANK SYARIAH DAN PRINSIP SYARIAH
Bank Syariah
menurut Ensiklopedia bebas adalah المصرفية
الإسلامية (al-Mashrafiyah al-Islamiyah) suatu sistem perbankan
yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem
ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau
memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk
berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan
konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya,
misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram,
usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Prinsip
syariah adalah perinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah. Pengertian Prinsip Syariah juga tertuang dalam Pasal 1 angka 12
UU No. 21 Tahun 2008 yakni prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenengan dalam
penetapan fatwa dibidang syariah. Berdasarkan ketentuan ini, maka apa itu
prinsip syariah dan implementasinya dalam praktik perbankan terkait dengan
rukun dan syaratnya berpedoman pada berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang terkait dengan
Perbankan Syariah.
Prinsip Syariah selanjutnya yang
berunsur islamiah adalah :
1.
Prinsip bagi
hasil (mudharabah)
2.
Pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah)
3.
Prinsip jual
beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah)
4.
Pembiayaan
barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah)
5.
Prinsip pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina).
Beberapa
prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain :
1.
Pembayaran
terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai
ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2.
Pemberi dana
harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha
institusi yang meminjam dana.
3.
Islam tidak
memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran
dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
4.
Unsur Gharar
(ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus
mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
5.
Investasi
hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha
minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip dari kegiatan perbankan di
bidang syariah tersebut sebenarnya hanya digolongkan pada 3 kegiatan pokok,
yaitu:
1.
Kegiatan
Penghimpunan Dana (yang dikenal dengan istilah
“Funding”)
Artinya, Bank mengumpulkan dana dari
masyarakat untuk disimpan dalam bank dimaksud. Dalam perbankan syariah,
Prinsip/bentuk konkrit dari kegiatan Funding tersebut terdiri atas:
a.
Prinsip
Wadi’ah (titipan), yaitu penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.
b.
Prinsip
Mudharabah (bagi hasil), Adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam
modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian
keuntungan berdasarkan nisbah.
2.
Kegiatan
Penyaluran Dana (yang dalam bisnis dikenal dengan istilah
“Financing”)
Dana yang terdapat di Bank, dapat
disalurkan kembali oleh Bank kepada masyarakat, dengan menggunakan 3 prinsip
pokok, yaitu :
a. Prinsip Jual
beli, dimana bentuk akadnya bisa berupa:
·
Murabahah,
yaitu: pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh Bank selaku shahib
al mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan
penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih
yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya
dapat dilakukan secara tunai atau secara angsuran.
·
Istishna
adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan criteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dengan pihak penjual.
Biasanya digunakan untuk pembiayaan manufaktur seperti: pemesanan mobil pada
dealer, pemesanan pembelian rumah pada developer. dll.
·
Salam adalah
jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembayarannya dilakukan
bersamaan dengan pemesanan barang. Biasanya jual beli yang objeknya di bidang
agribisnis. Jadi seperti padi, gandum, tebu, dll.
b. Prinsip
Kerjasama Bagi Hasil, dimana akadnya bisa berbentuk:
·
Mudharabah,
yaitu bentuk kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola
modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan
nisbah.
·
Musyarakah
adalah bentuk kerjasama dimana modal ditanggung bersama antara pelaksana dengan
pemilik modal. Jadi, jika ada keuntungan maupun kerugian, maka untung rugi
tersebut dibagi dua untuk bagian yang sama besarnya. Bedanya dengan mudharabah
adalah: pada musyarakah Bank tidak semata-mata menjadi pemilik modal saja,
melainkan juga bertindak sebagai pelaksana kegiatan/pekerjaan.
c. Prinsip Sewa
(Ijarah) adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan
pembayaran. Ijarah terbagi atas 2 bentuk, yaitu :
·
Sewa Menyewa
murni (Ijarah murni)
·
Sewa menyewa
dengan hak untuk membeli pada akhir masa sewa (Ijarah wal iqtiqna atau lebih
dikenal dengan Ijarah Muntahiyah bi al tamlik atau dikenal juga dengan
singkatan IMBT). Bentuk IMBT ini sangat mirip dengan konsep sewa beli (leasing)
pada hukum positif.
3.
Prinsip Jasa
Keuangan (yang dikenal dengan istilah “Sevice”)
Dalam melaksanakan tugasnya dibidang
jasa keuangan, pihak Bank mengutip biaya jasa. Bentuk jasa yang disediakan oleh
pihak Bank adalah :
a.
Wakalah yang
artinya pemberian kuasa dari nasabah kepada Bank untuk melakukan sesuatu,
misalnya pembelian suatu barang.
b.
Kafalah
Adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada pihak ketiga/
pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (peminjam) Dalam hukum
positifnya dikenal sebagai pemberian jaminan perorangan atau perusahaan (personal
guarantee atau company guarantee), performance bond, bid bond, bank garansi.
c.
Hawalah
adalah: pengalihan hutang dari muhil al-ashil kepada muhal’alaih Dalam
hukum positifnya dikenal sebagai pengalihan hutang (subrograsi). Dalam
prakteknya mengenai hiwalah ini akan dikembangkan menjadi bentuk pembiayaan
factoring atau anjak piutang.
d.
Rahn (Gadai)
adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.
Jadi, seperti pada konsep gadai yang berlaku pada hukum positif, dimana pihak pemilik
barang menyerahkan barangnya kepada Bank. Bedanya adalah: pihak pemilik barang
tidak membayar bunga dari pinjaman yang diterimanya, melainkan membayar biaya
penitipan. Dimana biaya tersebut digunakan untuk sewa tempat penitipan dan
asuransi barang yang digadaikan.
e.
Qardh adalah
penyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak
peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai
atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
f.
Sharf adalah
pertukaran antara emas dengan perak atau sebaliknya, atau pertukaran antara
mata uang asing dengan mata uang lainnya (baik mata uang domestic maupun mata
uang Negara lainnya). Konkritnya sharf ini adalah: jasa money changer atau
perdagangan valas.
B.
SEJARAH PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI INDONESIA
Perbankan Islam pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel
Islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya
sebagai gerakan fundamentalis. Perintisnya adalah Ahmad El Najjar. Sistem
pertama yang dikembangkan adalah mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang
berbasis profit sharing (pembagian laba / bagi hasil) pada tahun 1963.
kemudian pada tahun ’70-an, telah berdiri setidaknya 9 bank yang tidak memungut
maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan
dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi
keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Baru kemudian pada tahun 1974 berdiri Islamic Development Bank yang
disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam,
yang menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing
untuk negara-negara anggotanya dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar
pada syariah Islam.
Kemudian setelah itu, secara berturut-turut
berdirilah sejumlah bank berbasis Islam antara lain berdiri Dubai Islamic Bank
(1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt
(1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979) Phillipine Amanah Bank (1973) berdasarkan
dekrit presiden, dan Muslim Pilgrims Savings Corporation (1983).
Di Indonesia sendiri yang mayoritas penduduknya adalah Muslim membuat
negara ini menjadi pasar terbesar di dunia bagi perbankan syariah. Besarnya
populasi muslim itu memberikan ruang yang cukup lebar bagi perkembangan bank
syariah di Indonesia. Rintisan
praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui
diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh
yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya
adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien
Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang
relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di
Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam
tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep
alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan
bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan
keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan
tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru
dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di
Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang
menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di
Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi
tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang
terkait.
Sebagai
hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat
Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember
1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar
Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih
dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kelahiran
Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara
lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI
yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI
cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak
diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai
Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam
di Indonesia karena political-will belum mendukung.
Selanjutnya
sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank Muamalat Indonesia
merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas
syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain,
yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999. Namun, sejak
2000-an, setelah terbukti keunggulan bank syariah (bank Islam) dibandingkan
bank konvensional antara lain, Bank Muamalat tidak memerlukan suntikan dana,
ketika bank-bank konvensional menjerit minta Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) ratusan triliunan akibat negative spread, bank-bank syariah pun
bermunculan di Indonesia. Seperti misalnya Bank Syariah Mandiri yang merupakan
konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta
pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk. Pada Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang
sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank
BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.
Sampai
saat ini, pada tahun 2007, terdapat setidaknya 3 institusi bank syariah di
Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega
Syariah. Sementara bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19
bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero)
dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh
Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Hanya saja,
aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total
aset perbankan.
Perkembangan
perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi
ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer
bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah
menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998
telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena
kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah
dapat tetap eksis dan mampu bertahan.
Tidak hanya
itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung
akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya
dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan
memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya,
pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah.
Hal ini
dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi
pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak
menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun
2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih.
Perbankan
syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa
perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan
signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk
merealisasikannya.
Langkah
strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah
pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit
Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank
syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan
Undang – Undang perbankan no. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7
tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Prinsip
syariah adalah perinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah. Pengertian Prinsip Syariah juga tertuang dalam Pasal 1 angka 12
UU No. 21 Tahun 2008 yakni prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenengan dalam
penetapan fatwa dibidang syariah. Berdasarkan ketentuan ini, maka apa itu
prinsip syariah dan implementasinya dalam praktik perbankan terkait dengan
rukun dan syaratnya berpedoman pada berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang terkait dengan
Perbankan Syariah.
Prinsip dari kegiatan perbankan di
bidang syariah hanya digolongkan pada 3 kegiatan pokok, yaitu:
1. Kegiatan Penghimpunan Dana (yang dikenal dengan istilah
“Funding”)
Artinya, Bank mengumpulkan dana dari
masyarakat untuk disimpan dalam bank dimaksud. Dalam perbankan syariah,
Prinsip/bentuk konkrit dari kegiatan Funding tersebut terdiri atas:
c.
Prinsip
Wadi’ah (titipan), yaitu penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak
penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.
d.
Prinsip
Mudharabah (bagi hasil), Adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam
modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian
keuntungan berdasarkan nisbah.
2. Kegiatan Penyaluran Dana (yang dalam bisnis dikenal dengan
istilah “Financing”)
Dana yang terdapat di Bank, dapat
disalurkan kembali oleh Bank kepada masyarakat, dengan menggunakan 3
prinsip pokok, yaitu :
a. Prinsip Jual
beli, dimana bentuk akadnya bisa berupa:
·
Murabahah
·
Istishna
·
Salam
b. Prinsip
Kerjasama Bagi Hasil, dimana akadnya bisa berbentuk:
·
Mudharabah
·
Musyarakah
c. Prinsip Sewa
(Ijarah) adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan
pembayaran. Ijarah terbagi atas 2 bentuk, yaitu :
·
Sewa Menyewa
murni (Ijarah murni)
·
Sewa menyewa
dengan hak untuk membeli pada akhir masa sewa (Ijarah wal iqtiqna atau lebih
dikenal dengan Ijarah Muntahiyah bi al tamlik atau dikenal juga dengan
singkatan IMBT). Bentuk IMBT ini sangat mirip dengan konsep sewa beli (leasing)
pada hukum positif.
d. Prinsip Jasa Keuangan (yang dikenal dengan istilah
“Sevice”)
Dalam melaksanakan tugasnya dibidang
jasa keuangan, pihak Bank mengutip biaya jasa. Bentuk jasa yang disediakan oleh
pihak Bank adalah : wakalah, kafalah, hawalah, rahn(gadai), qardh, sharf
Di Indonesia perbankan syariah baru muncul pertama pada
tahun 1991 dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank
Muamalat sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga
ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. Kamudian, IDB memberikan
suntikan dana sehingga pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan
laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam
Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992
tentang Perbankan serta lebih spesifiknya pada Peraturan Pemerintah N0 72 tahun
1992 tentang Bank Berdasarkan Rinsip Bagi Hasil. Sampai saat ini, pada tahun
2007, terdapat setidaknya 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank
Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara bank
umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya
merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat
Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan
Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Hanya saja, aset perbankan
syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan.
0 komentar:
Post a Comment
BERKOMENTARLAH DENGAN BAIK DAN SOPAN!