Analisis Puisi Nyayian Angsa
NYANYIAN
ANGSA
Majikan
rumah pelacuran berkata kepadanya
“Sudah
dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu
makin menjadi.
Kamu
tak lagi hasilkan uang.
Malahan
padaku kamu berhutang.
Ini
biaya melulu.
Aku
tak kuat lagi.
Hari
ini kamu mesti pergi.”
(Malaikat
penjaga firdaus
wajahnya
tegas dan dengki
dengan
pedang yang menyala
menuding
kepadaku.
Maka
darahku terus beku.
Maria
Zaitun namaku.
Pelacur
yang sengsara.
Kurang
cantik dan agak tua).
Jam
dua belas siang hari.
Matahari
terik di tengah langit.
Tak
ada angin. Tak ada mega.
Maria
Zaitun keluar rumah pelacuran.
Tanpa
koper.
Tak
ada lagi miliknya.
Teman-temannya
membuang muka.
Sempoyongan
ia berjalan.
Badannya
demam.
Sipilis
membakar tubuhnya.
Penuh
borok di klangkang
di
leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya
merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit
jantungnya kambuh pula.
Ia
pergi kepada dokter.
Banyak
pasien lebih dulu menunggu.
Ia
duduk di antara mereka.
Tiba-tiba
orang-orang menyingkir dan menutup hidung
mereka.
Ia
meledak marah
tapi
buru-buru jururawat menariknya.
Ia
diberi giliran lebih dulu
dan
tak ada orang memprotesnya.
“Maria
Zaitun,
utangmu
sudah banyak padaku, “ kata dokter.
“Ya,”
jawabnya.
“Sekarang
uangmu berapa?”
“Tak
ada.”
Dokter
geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia
kesakitan waktu membuka baju
sebab
bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,”
kata dokter.
Dan
ia tak jadi mriksa.
Lalu
ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih
ia injeksi vitamin C,”
Dengan
kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin
C?
Dokter,
paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk
apa?
Ia
tak bisa bayar.
Dan
lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa
mesti dikasih obat mahal
yang
diimport dari luar negri?”
(Malaikat
penjaga firdaus
wajahnya
iri dan dengki
dengan
pedang yang menyala
menuding
kepadaku.
Aku
gemetar ketakutan.
Hilang
rasa. Hilang pikirku.
Maria
zaitun namaku.
Pelacur
yang takut dan celaka).
Jam
satu siang.
Matahari
masih di puncak.
Maria
Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan
aspal jalan yang jelek mutunya
lumer
di bawah kakinya.
Ia
berjalan menuju gereja.
Pintu
gereja telah dikunci.
Karena
kawatir akan pencuri.
Ia
menuju pastori dan menekan bel pintu.
Koster
keluar dan berkata:
“Kamu
mau apa?
Pastor
sedang makan siang.
Dan
ini bukan jam bicara.”
“Maaf.
Saya sakit. Ini perlu.”
Koster
meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu
berkata:
“Asal
tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku
lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu
koster pergi menutup pintu.
Ia
menunggu sambil blingsatan kepanasan.
Ada
satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah
mengorek sisa makanan dari giginya
ia
nyalakan cerutu, lalu bertanya:
“Kamu
perlu apa?”
Bau
anggur dari mulutnya.
Selopnya
dari kulit buaya.
Maria
Zaitun menjawabnya:
“Mau
mengaku dosa.”
“Tapi
ini bukan jam bicara.
Ini
waktu saya untuk berdoa.”
“Saya
mau mati.”
“Kamu
sakit?”
“Ya.
Saya kena rajasinga.”
Mendengar
ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya
mungkret.
Akhirnya
agak keder ia kembali bersuara:
“Apa
kamu –mm-Kupu-kupu malam?”
“Saya
pelacur. Ya.”
“Santo
Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo
Petrus!”
Tiga
detik tanpa suara.
Matahari
terus menyala.
Lalu
pastor kembali bersuara:
“Kamu
telah tergoda dosa.”
“Tidak
tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu
telah terbujuk setan.”
“Tidak.
Saya terdesak kemiskinan.
Dan
gagal mencari kerja.”
“Santo
Petrus!”
“Santo
Petrus!” Peter, dengarkan saya.
Saya
tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang
nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa
saya kalut.
Dan
saya mau mati.
Sekarang
saya takut sekali.
Saya
perlu Tuhan atau apa saja
untuk
menemani saya.”
Dan
muka pastor menjadi merah padam.
Ia
menudingMaria Zaitun.
“Kamu
galak seperti macan betina.
Barangkali
kamu akan gila.
Tapi
tak akan mati.
Kamu
tak perlu pastor.
Kamu
perlu dokter jiwa.”
(Malaikat
penjaga firdaus
wajahnya
sombong dan dengki
dengan
pedang yang menyala
menuding
kepadaku.
Aku
lesu dan berdaya.
Tak
bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria
Zaitun namaku.
Pelacur
yang lapar dan dahaga).
Jam
tiga siang.
Matahari
terus menyala.
Dan
angin tetap tak ada.
Maria
Zaitun bersijingkat
di
atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba
ketika nyebrang jalan
ia
kepleset kotoran anjing.
Ia
tak jatuh
tapi
darah keluar dari borok di klangkangannya
dan
meleleh ke kakinya.
Seperti
sapi tengah melahirkan
ia
berjalan sambil mengangkang.
Di
dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya
berkunang-kunang.
Napasnya
pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang
pergi menghindar.
Lalu
ia berjalan ke belakang satu restoran.
Dari
tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian
ia bungkus hati-hati
dengan
daun pisang.
Lalu
berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat
penjaga firdaus
Wajahnya
dingin dan dengki
dengan
pedang yang menyala
menuding
kepadaku.
Yang
Mulya, dengarkanlah aku.
Maria
Zaitun namaku.
Pelacur
lemah, gemetar ketakutan).
Jam
empat siang.
Seperti
siput iaberjalan.
Bungkusan
sisa makanan masih di tangan
belum
lagi dimakan
Keringatnya
bercucuran.
Rambutnya
jadi tipis.
Mukanya
kurus dan hijau
seperti
jeruk yang kering.
Lalu
jam lima.
Ia
sampai di luar kota.
Jalan
tak lagi beraspal
tapi
debu melulu.
Ia
memandang matahari
dan
pelan berkata: ”Bedebah.”
Sesudah
berjalan satu kilo lagi
ia
tinggalkan jalan raya
dan
berbelok masuk sawah
berjalan
di pematang.
(Malaikat
penjaga firdaus
dengan
pedang yang menyala
mengusirku
pergi.
Dan
dengan rasa jijik
ia
tusukkan pedangnya perkasa
di
antara kelangkangku.
Dengarkan,
Yang Mulia
Maria
Zaitun namaku.
Pelacur
yang kalah.
Pelacur
terhina).
Jam
enam sore.
Maria
Zaitun sampai ke kali.
Angin
bertiup.
Matahari
turun.
Hari
pun senja.
Dengan
lega ia rebah di pinggir kali.
Ia
basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu
ia makan pelan-pelan.
Baru
sedikit ia berhenti.
Badannya
masih lemas
tapi
nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu
ia minum air kali.
(Malaekat
penjaga firdaus
tak
kaurasakan bahwa senja telah tiba
angin
turun dari gunung
dan
hari merebahkan badannya?
Malaekat
penjaga firdaus
dengan
tegas mengusirku.
Bagai
patung ia berdiri.
Dan
pedangnya menyala).
Jam
tujuh. Dan malam tiba.
Serangga
bersuiran.
Air
kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon
dan semak-semak di dua tepi kali
nampak
tenang
dan
mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria
Zaitun tak takut lagi.
Ia
teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi
di kali dengan ibunya.
Memanjat
pohonan.
Dan
memancing ikan dengan pacarnya.
Ia
tak lagi merasa sepi.
Dan
takutnya pergi.
Ia
merasa bertemu sobat lama.
Tapi
lalu ia pingin lebih jauh cerita
tentang
hidupnya.
Lantaran
itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia
jadi berduka.
Dan
mengadu pada sobatnya
sembari
menangis tersedu-sedu.
Ini
tak baik buat penyakit jantungnya.
(Malaekat
penjaga firdaus
wajahnya
dingin dan dengki.
Ia
tak mau mendengar jawabku.
Ia
tak mau melihat mataku.
Sia-sia
mencoba bicara padanya.
Dengan
angkuh ia berdiri.
Dan
pedangnya menyala).
Waktu.
Bulan.
Pohonan.
Kali.
Borok.
Sipilis.
Perempuan.
Bagai
kaca
kali
memantul cahaya gemilang.
Rumput
ilalang berkilatan.
Bulan.
Seorang
lelaki datang di seberang kali.
Ia
berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,”
jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki
itu menyeberang kali.
Ia
tegap dan elok rupanya.
Rambutnya
ikal dan matanya lebar.
Maria
Zaitun berdebar hatinya.
Ia
seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah
di mana.
Yang
terang tidak di ranjang.
Itu
sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi
kita ketemu disini,”kata lelaki itu.
Maria
Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang
sementara ia keheranan
lelaki
itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia
merasa seperti minum air kelapa.
Belum
pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu
lelaki itu membuka kutangnya.
Ia
tak berdaya dan memang suka.
Ia
menyerah.
Dengan
mata terpejam
ia
merasa berlayar
ke
samodra yang belum pernah dikenalnya.
Dan
setelah selesai
ia
berkata kasmaran:
“Semula
kusangka hanya impian
bahwa
lelaki tampan seperti kau
bakal
lewat dalam hidupku.”
Dengan
penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu
tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah
namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,”jawabnya.
“Lihatlah.
Engkau melucu.”
Dan
sambil berkata begitu
Maria
Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba
ia terhenti.
Ia
jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di
lambung kiri.
Di
dua tapak tangan.
Di
dua tapak kaki.
Maria
Zaitun pelan berkata:
“Aku
tahu siapa kamu.”
Lalu
menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki
itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
(Malaekat
penjaga firdaus
wajahnya
jahat dan dengki
dengan
pedang yang menyala
tak
bisa apa-apa.
Dengan
kaku ia beku.
Tak
brani lagi menuding padaku.
Aku
tak takut lagi.
Sepi
dan duka telah sirna.
Sambil
menari kumasuki taman firdaus
dan
kumakan apel sepuasku.
Maria
Zaitun namaku.
Pelacur
dan pengantin adalah saya).
Bila
dilihat dari sudut antropologis, maka tampak bahwa sajak WS. Rendra di atas mengandung
nuansa antropologis. Hal ini tergambar dari perjalan kehidupan tokoh Maria
Zaitun sebagai seorang pelacur yang sudah tidak menarik lagi (tua). Sebagai
seorang individu yang sedang mencari jatidiri sebagai makhluk Tuhan, ditugasi
oleh penyair untuk mengeksplorasi aneka budaya kehidupan manusia yang senantiasa
bersifat kontradiktif. Dalam sajak itu tersirat bermacam pertanyaan yang
bersifat filosofis tentang apa dan bagaimana sesungguhnya hidup itu, sampai akhirnya
ditemukan oleh seorang Maria Zaitun. Untuk lebih jelasnya, dibahas sajak tersebut
melalui pendekatan antropologi sastra secara holistik.
Dilihat
dari judul puisi, yaitu “Nyanyian Angsa”, maka hewan angsa adalah hewan yang
berwarna putih (suci). Hewan ini adalah hewan yang bijaksana karena ia bisa
hidup di tiga tempat, yaitu di darat, di air dan di udara serta bisa secara
tepat dapat membedakan apa yang bisa atau tidak bisa dimakan sesuatu khususnya
yang ada di dalam air. Dalam kepercayaan agama Hindu hewan ini sangat
disucikan, bahkan menjadin kendaraan Dewi Saraswati sebagai dewa ilmu
pengetahuan.
Nyanyian
Angsa dapat ditafsirkan sebagai pujian kepada yang maha suci dan bijaksana,
yaitu
Tuhan
(dalam keyakinan agama Kristen sebagai Yesus dan Roh Kudus). Maria Zaitun
sebagai tokoh sentral dalam sajak WS. Rendra secara antropologis atau manusia
individu, maka kecantikan pada waktu muda pada suatu saat akan hilang dan
menjadi manusia yang lemah, tidak menarik, tidak berguna, serta akan menjadi
beban bagi orang lain. Pada saat itu sebagai manusia, barulah menyadari betapa
manusia yang pada mulanya menjadi pewarna perjalanan suatu budaya bangsa akhirnya
menjadi korban suatu budaya. Ketika manusia (Maria Zaitun) seperti itu, maka
mau atau tidak mau akan disisihkan dari kelompok buadayanya yaitu budaya pelacuran.
Hal itu tampak pada kutipan sajak berikut.
Majikan
rumah pelacuran berkata kepadanya
“Sudah
dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu
makin menjadi.
Kamu tak
lagi hasilkan uang.
Malahan
padaku kamu berhutang.
Ini
biaya melulu.
Aku tak
kuat lagi.
Hari ini
kamu mesti pergi.”
Sebagai
makhluk budaya, maka Maria Zaitun (simbol masyarakat miskin) sesungguhnya ingin
menjadi seperti manusia yang lain pada umumnya, yaitu bekerja di tempat yang layak
dengan kehidupan keluarga yang bahagia. Tetapi karena miskin dan sulit mencari
kerja yang layak, terpaksa ia menjadi pelacur. Pengakuan Maria Zaitun tersebut
tampak pada kutipan berikut.
Lalu
pastor kembali bersuara:
“Kamu
telah tergoda dosa.”
“Tidak
tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu
telah terbujuk setan.”
“Tidak.
Saya terdesak kemiskinan.
Dan
gagal mencari kerja.”
Walaupun
demikian, sesungguhnya Maria Zaitun masih ingin beriteraksi dengan budaya di
sekitarnya yaitu di luar budaya pelacuran. Oleh karena ia sedang sakit, maka ia
ingin sembuh dan berobat ke dokter (sebagai simbol masyarakat kelas atas)
dengan harapan dokter bisa menyembuhkannya.
Dan ia
tak jadi memeriksa.
Lalu ia
berbisik kepada jururawat:
“Kasih
ia injeksi vitamin C,”
Dengan
kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin
C?
Dokter,
paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk
apa?
Ia tak
bisa bayar.
Dan lagi
sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa
mesti dikasih obat mahal
yang
diimport dari luar negri?”
Dalam
budaya masyarakat berkembang, seperti Indonesia keadaan seperti tergambar di
atas merupakan suatu hal yang sering terjadi dalam masyarakat. Kelas sosial
dari masyarakat bawah memiliki jurang pemisah yang sangat dalam dengan kelas
sosial masyarakat atas (kapitalis).
Mengalami
perlakuan seperti itu, maka dalam perjalanan hidup tokoh Maria Zaitun mencari
kelompok budaya lain yang dianggap dapat memahami kehidupannya. Budaya lain
tersebut adalah budaya religius (Gereja). Maria Zaitun sebagai seorang
Kristiani ingin melakukan pengakuan dosa di hadapan Gerejadan Pastor. Ia
menyadari atas dosa-dosa yang telah dilakukannya. Harapannya, komunitas Gereja
mau menerima pengakuan dosanya di hadapan Yesus, seperti halnya Yesus penuh
dengan cinta kasih dan maaf kepada umatnya. Untuk itu,
ia pergi
ke sebuah Gereja dan menghadap Pastor. Dalam komunitas gereja yang dituju oleh
Maria Zaitun tergambar budaya pastori sebagai kelas sosial yang sangat tinggi
di mata Maria Zaitun bagaikan jarak antara bumi dan langit. Di dalamnya ada
budaya barat (Pastor) yang berhadapan dengan budaya masyarakat timur yang termarginalkan.
Ada satu
jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah
mengorek sisa makanan dari giginya
ia
nyalakan cerutu, lalu bertanya:
“Kamu
perlu apa?”
Bau
anggur dari mulutnya.
Selopnya
dari kulit buaya.
Maria
Zaitun menjawabnya:
“Mau
mengaku dosa.”
“Tapi
ini bukan jam bicara.
Ini
waktu saya untuk berdoa.”
“Saya
mau mati.”
“Kamu
sakit?”
“Ya.
Saya kena rajasinga.”
Mendengar
ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya
mungkret.
Akhirnya
agak keder ia kembali bersuara:
“Apa
kamu –mm-Kupu-kupu malam?”
“Saya
pelacur. Ya.”
Sebagai
manusia yang dianggap kotor, tetapi Maria Zaitun masih manusia yang beragama
tentu saja ia rindu akan Tuhannya (Yesus) atau seseorang (Pastor misalnya) yang
memahami kehidupannya. Akan tetapi, justru Pastor menolaknya dan menganggap
Maria Zaitun gila, bahkan mengusirnya dari Gereja. Ini adalah budaya gereja
yang tidak lazim. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
Saya
perlu Tuhan atau apa saja
untuk
menemani saya.”
Dan muka
pastor menjadi merah padam.
Ia
menudingMaria Zaitun.
“Kamu
galak seperti macan betina.
Barangkali
kamu akan gila.
Tapi tak
akan mati.
Kamu tak
perlu pastor.
Kamu
perlu dokter jiwa.”
Perjalanan
Maria Zaitun dalam pencarian jati diri, akhirnya sampai pada sebuah sungai
(kali). Dalam kelelahan setelah mengalami penolakan demi penolakan, Maria Zaitun
beristirahat di pinggir kali. Dalam suasana sore hari yang indah dan sejuk di pinggir
sebuah kali (yang memiliki suasana berbeda dengan keadaan sebelumnya yang
sangat panas), Maria Zaitun sebagai manusia individu yang unik dan khas menikmati
betapa segar dan indahnya saat itu. Ia minum air kali lalu membasuh kaki,
tangan, dan mukanya pada air kali yang mengalir sebagai simbol keiinginan membersihkan
diri dari segala dosa.
Jam enam
sore.
Maria
Zaitun sampai ke kali.
Angin
bertiup.
Matahari
turun.
Hari pun
senja.
Dengan
lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh
kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia
makan pelan-pelan.
Baru
sedikit ia berhenti.
Badannya
masih lemas
tapi
nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia
minum air kali
Dalam
suasana seperti itu, Maria Zaitun teringat pada masa-masa lalunya yang indah
bersama keluarga, teman-teman, dan pacarnya. Ia melakukan perenungan tentang
perjalanan hidupnya. Inilah yang merupakan puncak-puncak pencarian jati diri
seorang Maria Zaitun yang telah kalah melawan kekuatan alam dan takdir.
Pohon-pohon
dan semak-semak di dua tepi kali
nampak
tenang
dan
mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria
Zaitun tak takut lagi.
Ia
teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di
kali dengan ibunya.
Memanjat
pohonan.
Dan
memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak
lagi merasa sepi.
Dan
takutnya pergi.
Ia
merasa bertemu sobat lama.
Tapi
lalu ia pingin lebih jauh cerita
tentang
hidupnya.
Lantaran
itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi
berduka.
Dan
mengadu pada sobatnya
sembari
menangis tersedu-sedu.
Ketika
Maria Zaitun sedang melakukan perenungan seperti itu, tiba-tiba datang seorang
lelaki tampan menemuinya. Lelaki itu mencumbu Maria Zaitun, bahkan sampai membuka
kutang yang dipakai oleh Maria Zaitun sebagai simbolik melepas dan membuang
segala dosa yang pernah diperbuatnya. Maria Zaitun tidak berdaya dan menikmati
suasana seperti itu.
Seorang
lelaki datang di seberang kali.
Ia
berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,”
jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki
itu menyeberang kali.
Ia tegap
dan elok rupanya.
Rambutnya
ikal dan matanya lebar.
Maria
Zaitun berdebar hatinya.
Ia
seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di
mana.
Yang
terang tidak di ranjang.
Itu sayang.
Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi
kita ketemu disini,”kata lelaki itu.
Maria
Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang
sementara ia keheranan
lelaki
itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia
merasa seperti minum air kelapa.
Belum
pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu
lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak
berdaya dan memang suka.
Ia
menyerah.
Dengan
mata terpejam
ia
merasa berlayar
ke
samodra yang belum pernah dikenalnya.
Ternyata
lelaki yang mendatangi dan mencumbu Maria Zaitun adalah juru selamat, yaitu
Yesus Kristus. Yesus telah mengangkat Maria Zaitun dari kegelapan. Maria Zaitun
telah bangkit, seperti halnya kebangkitan Yesus. Tafsiran bahwa yang mendatangi
Maria Zaitun di pinggir kali adalah Yesus Kristus adalah ketika ia mencium
seluruh tubuh lelaki yang mendatanginya dan ditemukan bekas luka di lambung
kiri, di dua tapak tangan, di dua tapak kaki pada lelaki itu. Semua itu adalah
luka-luka yang dialami Yesus Kristus ketika digantung di kayu Salib sebagai
penebusan dosa umatnya.
Maria
Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba
ia terhenti.
Ia
jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di
lambung kiri.
Di dua
tapak tangan.
Di dua
tapak kaki.
Maria
Zaitun pelan berkata:
“Aku
tahu siapa kamu.”
Lalu
menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki
itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
Akhirnya,
Maria Zaitun telah dibebaskan dari segala dosa oleh juru selamat Yesus Kristus,
bahkan ia memasuki taman firdaus (taman sorga) sambil memakan buah apel (simbol
kebahagiaan) sepuasnya.
(Malaikat
penjaga firdaus
wajahnya
jahat dan dengki
dengan
pedang yang menyala
tak bisa
apa-apa.
Dengan
kaku ia beku.
Tak
brani lagi menuding padaku.
Aku tak
takut lagi.
Sepi dan
duka telah sirna.
Sambil
menari kumasuki taman firdaus
dan
kumakan apel sepuasku.
Maria
Zaitun namaku.
Pelacur
dan pengantin adalah saya).
Keadaan
di atas menggambarkan secara implisit, bahwa WS. Rendra sesungguhnya sedang
melakukan kritik sosial. Bagi kelompok budaya tertentu, seperti dokter dan
komunitas gereja (yang merupakan simbol kelompok budayaterhormat) tidak mau
menerima kehadiran Maria Zaitun yang miskin, lemah, dan penuh dosa. Akan
tetapi, justru Yesus Kristuslah yang mau menerima dengan penuh maaf dan kasih
dan mengangkatnya kekerajaan firdaus (sorga). Mengapa antara manusia tidak mau
saling menolong dan memaafkan, padahal Yesus Kristus sendiri selalu mau
memaafkan betapapun besar dosa umatnya, bahkan mengangkatnya ke
kerajaan
firdaus.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas tampak, bahwa sajak “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra adalah
sajak yang berisi kritik sosial bagi kelompok budaya masyarakat tertentu.
Secara Antropologis, tokoh Maria Zaitun sebagai individu pengungkap suatu
budaya, seperti budaya masyarakat kelas atas (dokter) dan budaya gereja (Pastor)
ikut memberi warna perjalanan budaya masyarakat (Indonesia) pada umumnya.
Dalam
perjalanan pencarian jatidiri seorang Maria Zaitun dengan terseokseok akhirnya
sampai kepada pengampunan abadi, yaitu pengampunan dan cinta kasih Yesus
Kristus sehingga ia diangkat ke kerajaan Yesus, yaitu taman firdaus (sorga).
Perjalanan Maria Zaitun sampai menemukan jati dirinya, yaitu Yesus Kristus
melewati tiga peristiwa besar, yaitu:
(a) peristiwa
minta menyembuhan pada dokter
(b)
peristiwa pengakuan dosa di Gereja, dan
(c)
peristiwa pertemuannya dengan lelaki di pinggir kali yang sesungguhnya adalah
Yesus Kristus. Bila dikaitkan dengan judul sajak, yaitu “Nyanyian Angsa”, maka
hewan Angsa seperti dijelaskan di awal pembahasan yaitu hewan yang bijaksana
dan bisa hidup di tiga tempat, yakni di udara, di darat, dan di air. Sifat
Angsa ini memiliki makna yang sejajar dengan tiga peristiwa besar yang dialami
oleh Maria Zaitun dalam pencarian jati diri dan
membentuk
suatu “nyanyian” yang merdu.
0 komentar:
Post a Comment
BERKOMENTARLAH DENGAN BAIK DAN SOPAN!