MAKALAH KRITIK SASTRA : PENDEKATAN STRUKTURAL
PENDAHULUAN
Dalam penelitian karya sastra,
analisis atau pendekatan obyektif terhadap unsur-unsur intrinsik atau struktur
karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya sastra sebelum memasuki
penelitian lebih lanjut (Damono, 1984:2).
Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra(Satoto, 1993: 32).
Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra(Satoto, 1993: 32).
Pendekatan struktural mencoba menguraikan
keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan
struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh(Teeuw, 1984: 135).
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu
pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur
struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau
keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
Mengenai struktur, Wellek dan Warren
(1992: 56) memberi batasan bahwa struktur pengertiannya dimasukkan kedalam isi
dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk adalah
cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah gagasan yang diekspresiakan
pengarang dalam tulisannya (Zeltom, 1984: 99). Menurut Jan Van Luxemburg (1986:
38) struktur yang dimaksudkan, mengandung pengertian relasi timbal balik antara
bagian-bagiannya dan antara keseluruhannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni
membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari
dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan
terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal
yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32). Pendekatan struktural mencoba
menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai
kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,
1984: 135). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah
suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur
struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau
keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.
Pendekatan struktural juga merupakan
pendekatan yang memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur itu
sendiri. Pendekatan ini memahami karya sastra secara close reading (membaca
karya sastra secara tertutup tanpa melihat pengarangnya, realitas, dan
pembaca).
B.
Tujuan Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural bertujuan
membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil, dan semendalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang
bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984).
C. Unsur-unsur Intrinsik Dalam Pendekatan Struktural
Struktur
karya sastra (fiksi) terdiri atas unsur unsur alur, penokohan, tema, latar dan
amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam membangun
karya sastra (fiksi) (Sumardjo, 1991:54).
1.
Alur (plot)
Dalam
sebuah karya sastra (fiksi) berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu
(Sudjiman, 1992: 19). Peristiwa yang diurutkan dalam menbangun cerita itu
disebut dengan alur (plot). Plot merupakan unsur fiksi yang paling penting
karena kejelasan plot merupakan kejelasan tentang keterkaitan antara peristiwa
yang dikisahkan secara linier dan kronologis akan mempermudah pemahaman kita terhadap
cerita yang ditampilkan. Atar Semi(1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot
adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi
fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam keseluruhan karya
fiksi.
Lebih
lanjut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa alur atau
plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan peristiwa yang lain. Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat
membuat atau menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya. Luxemburg memberikan
kebebasan penuh dalam menafsirkan atau membangun pemahaman dari jalannya
cerita.
Alur
bisa dilihat sebagai konstruksi yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah
deretan peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan secara logis dan
kronologis, serta deretan peristiwa itu diakibatkan dan dialami oleh para tokoh
(1986: 112). Karena alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai awal sampai
akhir cerita.
Masih
mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur
bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:
Ø Alur maju (konvensional Progresif )
adalah teknik pengaluran dimana jalan peristriwa dimulai dari melukiskan keadaan
hingga penyelesaian.
Ø Alur mundur (Flash back, sorot
balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan menetapkan peristiwa dimulai
dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai melukiskan keeadaan.
Ø Alur tarik balik (back tracking),
yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya
pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang (1990: 26). Melalui
pengaluran tersebut diharapkan pembaca dapat mengetahui urutan-urutan atau
kronologis suatu kejadian dalam cerita, sehingga bisa dimengerti maksud cerita
secara tepat.
2.
Tokoh
Dalam
pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan perwatakan.
Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting bahkan
menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa kehadiran tokoh yang
diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya menbentuk alur cerita.
Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis yang terkait oleh waktu.
Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan oleh para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut:
Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan oleh para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut:
·
Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro,
2000: 165)
Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian.
Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian.
·
Tokoh berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut
(Suroto, 1989: 92-93). Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan
sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas
peribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165). Penokohan atau karakter atau
disebut juga perwatakan merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui
perilaku dan pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah
penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23).
·
Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara
pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena
tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.
Untuk
mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara, yaitu:
a.
Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tindakannya,
terutama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b.
Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan tokoh.
c.
Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh,
wajah dan cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian
penulis tentang tokoh cerita.
d.
Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui
alasan-alasan tindakannya.
e.
Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak
tokoh ceritanya. Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang
mengungkap watak tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya
(Sumardja, 1997: 65-66).
Dilihat dari segi peranan atau
tingkat pentingnya tokoh, tokoh cerita dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama
(central character, main character)dan tokoh tambahan (pheripheral character)
(Nurgiyantoro, 2000: 176-178). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting. Karena ditampilkan terus menerus
sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Karena tokoh utama paling
banyak ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat
menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
Tokoh tambahan adalah tokoh yang
hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat
gradasi, keutamaannya bertingkat maka perbedaan antara tokoh utama dan tambahan
tidak dapat dilakukan secara pasti.
Karena tokoh berkepribaduian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu ;
Karena tokoh berkepribaduian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu ;
a. Dimensi fisiologis, adalag ciri-ciri
badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh,
ciri-ciri muka, dan lain sebagainya.
b. Dimensi sosiologis, adalah ciri
kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan, peranan dalan
masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
c. Dimensi psikologis, adalah latar
belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus
dalam bidang tertentu (satoto, 1993: 44-45).
3. Latar (setting)
Kehadiran latar dalam sebuah cerita
fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai sebuah dunia dalam kemungkinan adalah
dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni dan segala permasalahannya.
Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan ruang dan waktu.
Latar atau setting adalah sesuiatu
yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceriteraan. Panuti Sudjiman
mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang
berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (1992:46). Sumardjo dan Saini K.M.
(1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu
tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada
pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya.
Latar atau setting tidak hanya
menyaran pada tempat, hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan
sosial yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di
tempat yang bersangkutan.
a. Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat
berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun
tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus
memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan
jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan
sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai lokasi.
b. Latar waktu
Latar waktu menyaran pada kapan
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang
ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi
pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam
suasana cerita.
c. Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal
yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar
sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri
tokoh.
4. Tema dan Amanat
Secara etimologis kata tema berasal
dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus,
dan objektif. Sedangkan amanat berasal dari kata significance, yang berurusan
dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus
dilakukan penafsiran. Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya
perbedaan pendapat (Juhl dalam Teeuw, 1984: 27). Baik pengertian tentang “arti”
maupun “makna” keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai penyampai gagasan
atau ide kepengarangan.
Lebih jauh Sudjiman memberikan
pengertian bahwa tema merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari
suatu karya sastra (1992:52). Mengenai adanya amanat dalam karya sastra bisa
dilihat dari beberapa hal, seperti berikut ini:
“dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara implisit (tersirat) ataupun secara eksplisit(terang-terangan). Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992: 57-58).
“dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara implisit (tersirat) ataupun secara eksplisit(terang-terangan). Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992: 57-58).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan makalah ini maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari pendekatan
struktural adalah pendekatan
intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun
karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai
karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi
pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra(Satoto, 1993: 32).
Tujuan dari pendekatan struktural
dalam karya satra yaitu membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,
semendetil, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan
aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,
1984).
Unsur-unsur Intrinsik dalam
pendekatan struktural ada 4 yaitu : alur (plot), tema dan amanat, latar
(tempat, waktu, dan sosial), dan tokoh.
0 komentar:
Post a Comment
BERKOMENTARLAH DENGAN BAIK DAN SOPAN!