MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PERDAGANGAN JASA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perdagangan
internasional sebagai salah satu bagian
dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis,
dalam dekade terakhir ini menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, ditengah
semakin meningkatnya perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis
internasional.
Fenomena
ini dapat dicermati dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa,
modal dan tenaga kerja antarnegara,
serta berkembangnya kegiatan bisnis melalui hubungan ekspor impor,
investasi, perdagangan jasa, lisensi dan waralaba (license and franchise), hak atas kekayaan intelektual serta
berbagai jenis perdagangan internasional lainnya.
Perdagangan
internasional telah men “drive”
perdagangan dalam negeri untuk bertransformasi
menjadi perdagangan global, di mana seluruh dunia adalah pasar global,
globalisasi berarti bahwa arus barang, jasa, modal, teknologi dan orang
menyebar di seluruh dunia, Unsur inti dari globalisasi adalah ekspansi
perdagangan dunia melalui penghapusan atau pengurangan hambatan perdagangan,
seperti tarif impor.
Ekonomi "globalisasi" sebagai hasil
dari perdagangan internasional adalah proses sejarah, hasil dari inovasi
manusia dan kemajuan teknologi. Hal ini mengacu pada peningkatan integrasi
ekonomi seluruh dunia, terutama melalui pergerakan barang, jasa, dan modal
lintas batas. Istilah ini kadang-kadang juga mengacu pada pergerakan manusia
(tenaga kerja) dan pengetahuan (teknologi) melintasi perbatasan internasional.
Ada
berbagai alasan mengapa negara atau sebjek hukum (pelaku perdagangan) melakukan
perdagangan internasional, diantaranya karena perdagangan internasional adalah
tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini
sudah terbukti dalam perjalanan sejarah perkembangan dunia.
Liberalisasi
perdagangan internasional mulai mengalami pertumbuhan yang sangat pesat pada
abad ke-19 sehingga memberikan keuntungan dalam bidang ekonomi di Eropa.
Tetapi kebebasan perdagangan
tersebut belum dapat dinikmati oleh bangsa lainnya diluar Eropa, terutama di
Asia dan Afrika. Hal ini disebabkan karena waktu itu Asia dan Afrika merupakan
wilayah kolonial atau jajahan negara-negara Eropa, sehingga dalam sektor
perdagangan, bangsa Asia dan Afrika tidak mendapatkan kesempatan dan kebebasan
yang sama seperti bangsa Eropa. Dengan demikian yang memegang kekuasaan ekonomi
maupun politik pada periode liberal ini adalah bangsa Eropa, sebaliknya bangsa
Asia dan Afrika tidak mempuanyai kekuasaan dan politik di negerinya sendiri.
Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antar negara atau disebut dengan perdagangan internasional termotivasi oleh paham dan teori yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nation”, yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin.
Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan antar negara atau disebut dengan perdagangan internasional termotivasi oleh paham dan teori yang dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nation”, yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin.
Kebijakan dalam rangka
liberalisasi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu yang dilakukan secara global
dan unilateral, dan yang dilakukan secara bilateral atau regional. Kebijakan
yang berlaku global berkaitan dengan kesepakatan yang diputuskan di WTO dan
yang unilateral adalah kebijakan yang secara sepihak dilaksanakan oleh negara
tersebut. Kebijakan regional atau bilateral adalah kebijakan yang dilaksanakan
berdasarkan pada kesepakatan secara bilateral atau regional yang biasanya
berada dalam suatu perjanjian perdagangan baik bilateral maupun regional.
Tahun 1995 menjadi
sebuah babak baru dalam perekonomian internasional. Pada tahun ini, dibentuklah
organisasi perdagangan yang lebih formal yakni World Trade Organization
(WTO). Dibentuknya WTO ini sekaligus menggantikan rezim perdagangan lama yaitu General
Agreements on Tariffs and Trade (GATT) yang telah berjalan sejak 1947.
Perubahan rezim perdagangan ini tentu menimbulkan dampak terhadap perekonomian
internasional secara umum. Sebagai sebuah organisasi, WTO lebih memiliki
legalitas dan aturan yang lebih jelas serta mengikat. Berikut merupakan ulasan
dari proses terbentuknya WTO dan keberadaannya sebagai organisasi perdagangan
internasional.
Khusus di sektor Jasa, bidang ini memberi kontribusi
besar terhadap pendapatan negara. Jasa telah memainkan peran yang semakin
berpengaruh dalam perekonomian dan ketenagakerjaan suatu negara.
Dalam
bentuk yang ideal, liberalisasi perdagangan jasa adalah suatu keadaan dimana
perusahaan dan individu bebas untuk menjual jasa melampaui batas wilayah
negaranya. Ini berarti termasuk didalamnya adalah kebebasan untuk mendirikan
perusahaan di negara lain dan bagi individu untuk bekerja di negara lain.
Terlepas dari munculnya kekhawatiran akan munculnya “neo –liberalisme” dan
neo-neo yang lainnya, liberalisasi perdagangan jasa muncul karena beberapa
fakta.[1]
Pertama,
perang Dunia I dan II terjadi akibat perang dagang antar negara. Perang dagang
itu sendiri terjadi karena dianutnya doktrin merkantilisme yang mengajarkan
bahwa kemajuan sebuah negara akan terjadi jika mampu meningkatkan ekspor
semaksimal mungkin dan menekan impor seminimal mungkin. Doktrin ini mendorong
negara-negara untuk menerapkan kebijakan perdagangan yang bersifat protektif.
Kedua, paham kapitalisme
yang mendorong penumpukan kekayaan sebanyak-banyaknya. Paham ini melahirkan
perusahaan multinasional yang melakukan ekspansi usaha ke berbagai negara untuk
meningkatkan keuntungan secara berkesinambungan. Lebih jauh lagi, fenomena ini
kemudian melahirkan praktek Foreign Direct Investment (FDI).
Ketiga, negara sedang berkembang
memiliki kebutuhan untuk melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain,
misalnya ekspor tenaga kerja ke luar negeri. Berkaitan dengan hal tersebut,
maka negara sedang berkembang juga menghendaki agar negara mitra dagangnya
menerapkan kebijakan liberalisasi perdagangan jasa.
Pertumbuhan
kelas menengah serta permintaan internasional sangat penting untuk pesatnya perkembangan
sektor jasa. Keduanya mendorong perluasan jasa modern, pariwisata, transportasi
dan layanan bisnis.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa perbedaan antara perdagangan
jasa dan perdaganagan barang?
2. Bagaiamana pengaturan perdagangan
jasa dalam hukum ekonomi internasional?
C.
Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui perbedaan antara
perdagangan jasa dan perdagangan barang.
2. Untuk mengetahui pengaturan perdagangan
jasa menurut hukum ekonomi internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perbedaan Pedagangan Jasa Dan
Perdagangan Barang
Perdagangan
jasa memiliki karakteristik-karakteristik yang membedakannya dengan perdagangan
barang. Pertama adalah nature of service transactions.[2]
Dalam sektor jasa, transaksi mengharuskan kehadiran kedua belah pihak, yaitu
produsen dan konsumen. Jika produsen-produsen jasa disuatu negara memiliki
sebuah produk jasa yang diminati oleh konsumen dari luar negeri, maka konsumen
luar negeri tersebut harus langsung bertransaksi dengan produsen untuk
mendapatkan produk jasa tersebut. Jadi penyediaan produk jasa terhadap pasar
luar negeri seringkali disertai pergerakan modal atau tenaga kerja.
Karakteristik yang lain adalah regulasi dan kontrol
yang besar pada perdagangan jasa.[3]
Regulasi dan kontrol yang besar ini dalam rangka, pertama, menghindari resiko
terjadinya market failure atau kegagalan pasar dari kurangnya informasi atau
lack of information yang didapat konsumen pada produk yang akan dikonsumsinya.
Seperti yang kita ketahui bahwa pasar dapat menjadi alokasi sumber daya yang
efisien (yaitu bertemunya permintaan konsumen dan penawaran produsen) jika
asumsi-asumsinya terpenuhi, yang salah satunya adalah informasi yang sempurna.
Jika tidak, maka pasar gagal menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien.
Konsumen tidak akan pernah tahu persis tentang kualitas produk yang akan dikonsumsinya.
Oleh karena itu diperlukan informasi yang sempurna mengenai produk tersebut.
Misal contoh yang terjadi pada perdagangan jasa, jika konsumen disuatu negara
ingin menggunakan jasa tenaga ahli konstruksi asing, maka ia harus mengetahui
kualitas dari tenaga ahli yang akan digunakannya tersebut. Dan alangkah lebih
baik jika kualitas tenaga ahli yang akan masuk ke negaranya tersebut telah
terstandarisasi sesuai dengan regulasi yang ada. Kedua, regulasi dan kontrol
yang besar ini sebagai konsekuensi dari penyediaan produk jasa yang berbeda
dengan penyediaan produk barang. Jika di proses penyediaan produk barang mengenal
istilah penyimpanan atau stock, maka dalam penyediaan produk jasa ini
tidak dikenal istilah tersebut. Maksudnya, produk jasa disediakan secara
langsung oleh produsennya tanpa melalui proses penyimpanan seperti pada produk
barang. Jadi dapat disimpulkan bahwa regulasi dan kontrol yang besar pada
perdagangan jasa ini ditujukan agar kedua belah pihak konsumen dan produsen
tidak merasa dirugikan.
Selain itu yang membedakan perdagangan jasa dengan
perdagangan barang adalah kesulitan untuk mendeteksi hambatan-hambatan yang ada
didalamnya.[4]
Lebih sulit untuk mendeteksi hambatan-hambatan yang berada didalam perdagangan
jasa daripada yang ada pada perdagangan barang. Hambatan-hambatan pada
perdagangan barang dapat dideteksi dengan jelas melalui perbedaan harga atau price
differential yang ada. Sedangkan pada perdagangan jasa hambatan-hambatan
agak sulit untuk dideteksi karena berupa peraturan-peraturan. Hambatan-hambatan
perdagangan jasa ini less transparent dibandingkan dengan
hambatan-hambatan perdagangan barang, ini yang menyebabkan sulit untuk
mengetahui dampak hambatan tersebut.
Sebagai tambahan, Mary E. Footer dalam tulisannya Global
and Regional Approaches to The Regulation of Trade in Services juga
menjelaskan karakteristik-karakteristik yang membedakan perdagangan jasa dengan
perdagangan barang. Pertama, jasa itu bersifat intangible atau tidak
nyata, tidak seperti barang yang bersifat tangible atau nyata, yang mana
berisi hak dan kewajiban. Contohnya hak dan kewajiban yang tidak terlihat itu
tercermin pada international banking. Misal, claim & liabilities warga
negara suatu negara dalam bentuk mata uang asing atau claim &
liabilities warga asing dalam bentuk mata uang negara tersebut. Selain itu
perdagangan jasa ini lebih terikat terhadap regulasi-regulasi dibandingkan
perdagangan barang. Contoh, safety standard dalam industri penerbangan.
Penerapan perdagangan jasa seringkali berbenturan dengan hal-hal yang bersifat
non-ekonomi. Misalnya, transborder broadcasting seringkali berbenturan
dengan kebijakan kebudayaan nasional suatu negara. Struktur pasar sektor jasa
juga dikarakteristikkan dengan adanya kompetisi yang tidak sempurna. Industri
telekomunikasi merupakan contoh yang cukup baik dari imperfect competition ini.
Di banyak negara, peralatanperalatan telekomunikasi disupply oleh pemerintah
dan sistemnya pun dioperasikan secara monopoli oleh pemerintah.
B.
Pengaturan Perdagangan jasa menurut
Hukum ekonomi internasional.
Sebagai langkah untuk menangani masalah
perdagangan internasional, pada bulan februari 1946, ECOSOC, suatu badan
dibawah PBB, pada sidang pertamanya telah mengambil resolusi untuk mengadakan
konfrensi guna menyusun piagam internasional dibidang perdagangan. Pada waktu
yang hampir bersamaan, pemerintah AS mengeluarkan suatu draft atau konsep
mengenai piagam untuk Internasional Trade Organization ( yang selanjutnya
disingkat ITO).[5]
Pada tahun 1947, para perunding di
Jenewa melaksanakan persiapan untuk merumuskan piagam ITO yang kemudian
diserahkan kepada delegasi negara-negara peserta pada konfrensi Havana 1948.
Disamping mempersiapkan teks piagam ITO (International Trade Organization),
para perunding di Jenewa juga melakukan perundingan untuk menurunkan bea masuk
atau tarif yang kemudian menjadi annex dalam perjanjian GATT dan secara formal
merupakan bagian integral dari perjanjian GATT. Dapat ditambahkan bahwa hal ini
berlaku untuk seterusnya dalam GATT bahwa setiap rangkaian perundingan di
bidang tarif makan hasilnya menjadi bagian integral dari perjanjian GATT.
Secara struktur GATT diciptakan sebagai
suatu perjanjian multilateral dan bukan suatu “organisasi”. Dalam kata lain
resminya GATT mempunyai status yang sama dengan berbagai perjanjian perdagangan
bilateral sebelumnnya. Tetapi dilihat dari substansi, pada waktu perundingan diadakan untuk merumuskan
perjanjian GATT, substansi, prinsip, dan sistem yang terkandung dalam
perjanjian dibayangkan supaya kemudian beroperasi dibawah payung ITO.
Pada tahun 1948, piagam teks ITO selesai dirumuskan. Tetapi ITO
tidak dapat terwujud karena kongres AS tidak dapat menyetujuinya ketika
presiden AS menyerahkan teks kepada kongres untuk memperoleh persetujuan.
Setelah berulang kali diusahakan oleh pihak eksekutif AS, maka pada tahun 1951,
pertanda semakin menunjukkan secara jelas bahwa kongres tidak akan
menyetujuinya. Dengan demikian maka presiden AS Harry Truman menarik kembali usulan
ratifikasi piagam Havana.
Dengan tidak berhasilnya masyarakat internasional dalam mewujudkan
ITO, maka GATT menjadi satu satunya instrument hukum yang menjadi lembaga utama
dalam perdagangan internasional. Namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana kemudian GATT menjadi sebuah lembaga utama dalam perdagangan,
sedangkan ia belum pernah secara sah diwujudkan sebagai organisasi
internasional dan sebelumnya dirancang sebagai perjanjian interim?
Menurut H.S Kartadjoemena,
bahwa jawaban terhadap pertanyaan itu adalah penempuhan jalan yuridis fiktif
dengan adanya protocol of provisional application yang secara teknis
dapat segera menerapkan perjanjian GATT secara provisional dan darurat. Dalam
mekanisme penerapan ketentuan yuridis ini, dapat dikemukakan bahwa GATT, sebagai suatu perjanjian, telah selesai perumusannya
pada tahun 1947, sebelum perjanjian ITO yang di rencanakan sebagai payung dapat
terwujud.
Pada waktu itu, terdapat perbedaan
pandangan mengenai ratifikasi GATT dengan ITO sebagai payungnya di satu pihak
dan urgensi untuk menerapkan dan meresmikan perjanjian bila telah selesai. Maka
di terapkanlah Protocol of provisional application (PPA) bagi negara yang
memerlukan GATT segera untuk disetujui dan bagi negara yang ingin meratifikasi
GATT dan ITO secara bersamaan dapat menunggu hingga kedua perjanjian tersebut
rampung.
Dalam kenyataanya, ITO akhirnya tak
pernah berlaku dan GATT berdiri secara independen hingga terbentuknya secara
resmi World Trade Organisation (WTO) pada 15 April 1994 sejalan dengan
keberhasilan Uruguay round, sebagai pengganti ITO dan menjadi payung baru bagi
GATT.
Perjalanan WTO hingga terbentuk, tidak
terlepas dari pertemuan contracting parties GATT tingkat menteri yang diikuti
oleh 108 negara, yang pertama kali dilaksanakan tanggal 20 september 1986 di
Punta Del Este, Uruguay untuk meluncurkan perundingan perdagangan multilateral.
Perundingan tersebut dilaksanakan selama 7 tahun, beberapa
kali hingga selesai 15 April 1994 di Marakesh, Maroko yang kemudian melahirkan World
Trade Organisation (WTO) yang memberikan pengaturan lebih lengkap dan
konprehensip dibidang perdagangan. Rangkaian perundingan ini kemudian biasa
dikenal dengan nama perundingan Uruguay round.
Perundingan tersebut tidak
hanya membahas mengenai hal-hal klasik seperti “market acces”, tetapi
juga membicarakan mengenai hal-hal baru yang tumbuh dan berkembang sehubungan
dengan semakin majunya perdagangan dan ekonomi yang tumbuh semakin pesat,
seperti bidang investasi dan juga Jasa yang yang tidak tersentuh dalam
pengaturan GATT.
Salah satu hasil penting yang dihasilkan
oleh Uruguay round adalah kesepakatan tentang kerangka kerja dibidang jasa atau
yang biasa disebut GATS (General
Agreement on Trade in Services), ini merupakan suatu perjanjian yang
relatif baru dan juga merupakan perjanjian perdagangan multilateral yang
pertama di bidang jasa.[6]
GATS merupakan hasil suatu proses panjang yang dimulai dengan
inisiatif Amerika Serikat saat Tokyo Round. Saat itu Amerika Serikat
mulai berusaha meyakinkan para peserta untuk mendukung prakarsanya memasukkan Trade
in Services dalam GATT. Usaha ini berhasil pada tahun 1986 ketika diambil
suatu keputusan yang tegas saat Deklarasi Punta Del Este tahun 1986.
Deklarasi Punta Del Este pada tahun 1986 merupakan suatu
hasil kompromi antara negara maju dan negara berkembang mengenai perdagangan
jasa. Kompromi ini muncul sebagai reaksi dari negara berkembang yang semula
menentang dimasukkannnya pengaturan mengenai jasa dalam kerangka GATT.[7] Hal ini tampak dalam keputusan Deklarasi
Punta Del Este yang mengatur tentang perdagangan jasa yang intinya
memuat pokok-pokok sebagai berikut:
1)
Para
menteri sepakat untuk meluncurkan perundingan perdagangan jasa sebagai bagian
perundingan perdagangan multilateral.
2)
Perundingan
tersebut bertujuan membentuk kerangka hukum multilateral yang memuat prinsip
dan ketentuan mengenai perdagangan jasa, sehingga tercipta perdagangan yang
transparan dan liberalisasi progresif, sebagai upaya peningkatan ekonomi semua
mitra dagang dan kemajuan negara-negara berkembang.
3)
Kerangka
hukum tersebut harus menghormati hukum nasional dan ketentuan-ketentuan yang
berlaku mengenai jasa serta bekerja sama dengan organisasi internasional yang
relevan.
4)
Untuk
melaksanakan perundingan ini harus dibentuk kelompok perundingan jasa yang
berkewajiban untuk melaporkan hasilnya kepada Komite Perundingan Perdagangan.
Kompromi
ini muncul sebagai reaksi dari negara berkembang yang semula menentang
dimasukkannya pengaturan mengenai perdagangan jasa dalam kerangka GATT/WTO.
Dalam perundingan ini negara berkembang berhasil menempatkannya dalam peraturan
tersendiri di luar kerangka hukum dari GATT/WTO. Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan kemungkinan persilangan antara masalah-masalah GATT/WTO mengenai
perdagangan barang dan perdagangan jasa. Negara berkembang juga berhasil dalam
usaha agar perkembangan ekonomi dan pertumbuhan dimasukkan sebagai tujuan dari
setiap persetujuan yang dicapai. Kerangka hukum tersebut melahirkan GATS.
Pengaturan GATS dipandang sebagai suatu cara memajukan pertumbuhan ekonomi bagi
semua negara pelaku perdagangan dan pembangunan negara-negara berkembang.
Dimasukkannya pengaturan mengenai perdagangan jasa dalam kerangka GATT/WTO
dianggap sebagai suatu langkah kemajuan penting bagi GATT/WTO.[8]
Dibentuknya
GATS seperti ditegaskan dalam Deklarasi Punta Del Este adalah untuk membentuk
suatu kerangka prinsip-prinsip atau aturan-aturan material mengenai perdagangan
jasa. Dokumen-dokumen penting yang harus diperhatikan dalam mempelajari GATS
adalah; framework agreement, initial commitments, sectoral annex dan
ministerial decision and understanding. Framework agreement adalah perjanjian
GATS itu sendiri yang mengandung satu perangkat konsep umum, asas, dan
ketentuan yang menimbulkan kewajiban berkenaan dengan segala tindakan yang berkaitan
dengan perdagangan jasa.
GATS adalah
framework agreement yang tercantum di dalamnya prinsip-prinsip dasar yang
merupakan landasan aturan permainan dalam perdagangan internasional di bidang
jasa-jasa. Tujuannya adalah memperdalam dan memperluas tingkat libralisasi
sektor jasa di negara-negara anggota, sehingga diharapkan perdagangan jasa di
dunia bisa meningkat.[9]
Peranan
GATS dalam perdagangan jasa dunia, pada dasarnya tidak terlepas dari dua (2)
pilar berikut; pertama adalah memastikan adanya peningkatan transparansi dan
prediktabilitas dari aturan maupun regulasi yang terkait, kedua adalah upaya
mempromosikan proses liberalisasi berkelanjutan melalui putaran perundingan.[10]
Kewajiban-kewajiban
bagi pihak dalam GATS dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1.
Kewajiban umum dan disiplin (general obligation and disciplines)
adalah kewajiban yang diterapkan terhadap semua sektor jasa oleh semua negara
anggota sesuai dengan sectoral annex (lampiran) yang ada. Kewajiban ini
termasuk perlakuan Most Favoured Nation (MFN), ketentuan transparansi,
ketersediaan prosedur hukum, konsultasi terhadap praktek-praktek bisnis, dan
konsultasi terhadap subsidi yang mempengaruhi perdagangan.
2.
Kewajiban khusus yaitu kewajiban-kewajiban dalam kaitannya dengan
komitmen khusus (obligation related to specific commitment). Yang dimaksud
dengan kewajiban khusus adalah kewajiban yang mengikat negara tertentu sesuai
dengan komitmen yang dibuat sebagaimana tercantum dalam Schedule of Commitments
(SoC). Hal-hal yang termasuk dalam kategori kewajiban khusus ini antara lain;
prinsip-prinsip perlakuan nasional (Nationat Treatment) dan akses pasar (Market
Acces).
Berdasarkan
kewajiban khusus, maka setiap negara anggota harus memperlakukan jasa dan
pemasok jasa dari negara lain sekurang-kurangnya sama dengan yang telah
disetujui dan dicatat dalam Schedule of Commitments (SoC). Di samping itu
setiap negara anggota juga harus memberikan perlakuan yang adil kepada jasa dan
pemasok jasa dari anggota lain dibandingkan dengan yang diberikannya kepada
jasa dan pemasok jasa sejenis miliknya (domestik).
GATS memuat
3 (tiga) dokumen antara lain sebagai berikut:[11]
1.
Dokumen yang memuat serangkaian kewajiban dasar yang berlaku
terhadap semua negara.
2.
Dokumen yang berisi beberapa lampiran (annex) perjanjian yang
menetapkan keadaan-keadaan khusus mengenai sektor-sektor jasa pada setiap
negara anggota WTO.
3.
Dokumen yang memuat komitmen negara-negara yang tertuang dalam
daftar yang berisi kewajiban negara (national schedule) untuk memperlancar
proses liberalisasi perdagangan jasa.
Dokumen
pertama yang merupakan satu framework agreement yang terdiri dari 39 Pasal dan
terbagai atas 6 bagian. Bagian-bagian tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Bagian I mengandung kewajiban-kewajiban dasar (basic obligation)
berkenaan dengan definisi dan ruang lingkup jasa.
2.
Bagian II mengandung ketentuan-ketentuan dengan kewajiban umum
seperti Most Favoured Nation (MFN) atau non diskriminasi, transparency,
ketentuan untuk peningkatan partisipasi negara-negara berkembang, kewajiban
berkenaan dengan syarat-syarat pengakuan dalam bidang jasa, penggunaan
pembatasan dalam transfer, dan pembayaran internasional.
3.
Bagian III adalah bagian operatif yang mengandung ketentuan-ketentuan
penting: market access, national treatment dan additional commitments.
Ketentuan ini tidak dicantumkan sebagai general obligation, tetapi sebagai
specific commitment yang harus dimuat dalam daftar komitmen nasional (national
schedule).
4.
Bagian IV adalah bagian yang meletakkan dasar bagi liberalisasi
progresif jasa melalui peraturan perundingan perdagangan jasa. Termasuk
penarikan kembali dan modifikasi komitmen dalam daftar komitmen nasional
setelah 3 tahun.
5.
Bagian V mencakup ketentuan-ketentuan kelembagaan termasuk
pembentukan Council on Trade in Services bersama dengan pasal-pasal mengenai
konsultasi dan prosedur penyelesaian sengketa.
6.
Bagian VI memuat ketentuan-ketentuan akhir (final provision)
Dokumen
kedua mengatur ketentuan-ketentuan mengenai akses pasar dan perlakuan nasional
dan bukan merupakan kewajiban umum. Tetapi merupakan komitmen yang ditetapkan
dalam daftar nasional (Schedule of Commitments). Schedule of Commitments (SoC)
ini memuat komitmen mengikat negara-negara anggota WTO terhadap anggota lainnya
dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya berdasarkan GATS, dengan kata lain
daftar tersebut merupakan konkretisasi dalam bentuk nyata dari komitmen negara
anggota GATS-WTO.
Dokumen
ketiga berkenaan dengan sektot-sektor khusus. Annex pertama adalah annex
mengenai pengecualian terhadap Pasal II (perihal berlakunya MFN). Annex kedua
mengenai pergerakan manusia (movement of natural persons) yang memberikan jasa
di bawah GATS. kemudian ada pula beberapa annex yang bertalian dengan sektor-sektor
tertentu seperti: annex on air transport
services, annex on financial services, second annex on financial services,
annex on negotiation maritime transport services, annex on telecommunication,
annex on negotiations on basic telecommunications.
Ruang
lingkup jenis perdagangan jasa GATS terdapat dalam pasal 1 ayat (1) GATS yang
berbunyi : “ This Agreement applies to
measures by member affecting trade in service”. Pasal ini mencoba
memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan Trade in Service adalah
perdagangan jasa yang dilakukan dengan cara.[12]
a.
Jasa yang diberikan dari suatu wilayah negara lainnya
(cross-border) misalnya jasa yang mempergunakan media telekomunikasi;
b.
Jasa yang diberikan dalam suatu wilayah negara kepada suatu
konsumen dari negara lain (consumption abroad) misalnya turisme;
c.
Jasa yang diberikan melalui kehadiran badan usaha suatu negara
dalam wilayah negara lain (commercial presence) misalnya pembukaan kantor
cabang bank asing;
d.
Jasa yang diberikan oleh warga negara suatu negara dalam wilayah
negara lain (presence of natural person) misalnya
jasa konsultan, pengacara dan akuntan.
Dengan demikian, tampak bahwa cakupan
perdagangan jasa yang diatur oleh GATS ini relatif luas dan universal seperti
halnya pengaturan dibidang Trade in Goods. Oleh karena itu beberapa
asas-asas yang ada dalam GATT juga diterapkan dalam koteks perdagangan
Jasa-jasa yang tercantum dalam GATS. Semisal prinsip MFN, liberalisasi secara
bertahap dsb.
Berikut
ini beberapa aturan-aturan pokok dalam liberalisasi jasa yang tedapat dalam
GATS :
Prinsip MFN merupakan sebuah asas bahwa
bila ada kemudahan yang diberikan kepada suatu negara, maka kemudahan tersebut
juga harus di berikan kepada negara lainnya. Ini juga merupakan prinsip utama
dalam perdagangan barang yang ada dalam GATT yang juga di gunakan dalam
perdagangan jasa (GATS). MFN atau dikenal juga dengan prinsip non diskriminasi
merupakan suatu kewajiban umum (General obligation) dalam GATS.
Kewajiban ini bersifat segera (immediately) dan otomatis (unconditionally).
Dalam pengaturan mengenai MFN pada pasal
II paragraph 1 GATS dipergunakan Rumusan “ …Each member shall accord
immediately and unconditionally to service and service supplier of any other
member, “treatment no less favourable” than it accord to like service and
service supplier of any other country”. Istilah “treatment
no less favourable” juga digunakan dalam pasal XVI tentang market acces dan
pasal XVII tentang national treatment.
Perbedaannya ialah
dalam MFN treatment no less favourable yang dibandingkan adalah
perlakuan yang diberikan terhadapa service supplier dari suatu negara
dengan negara lainnya, sedangkan dalam national treatment yang
dibandingkan adalah perlakuan yang diberikan terhadap domestic service
supplier dengan foreign service supplier. Sementara itu, dalam market
acces pengertiannya adalah perlakuan yang diberikan terhadap foreign
service supplier oleh suatu negara harus sesuai dengan persyaratan dan
pembatasan yang tercantum dalam schedule of commitment (SOC) negara itu.
Meskipun
demikian, sistem GATS memberikan kebebasan bagi anggotanya untuk menyimpang
dari kewajiban MFN. Oleh karena itu, suatu anggota dapat saja memberikan
perlakuan yang lebih baik atas suatu sektor jasa kepada suatu atau beberapa
anggota dibanding dengan yang diberikan kepada anggota lain sepanjang anggota
lain tersebut diperlakukan minimal sesuai dengan yang dicantumkan dalam SOC.
Akan tetapi, suatu negara tidak dibenarkan untuk memberikan perlakuan yang
lebih sedikit dari yang dicantumkan dalam SOC kepada suatu atau beberapa
anggota (misalnya berdasakan prinsip resiprositas).
b.
Protecting Through Specific Commitments[14]
Dalam hal proteksi, perdagangan jasa
berbeda dengan barang. Dalam perdagangan jasa, proteksi dengan menggunakan
pembatasan tarif tersebut tidak bisa dilaksanakan karena jasa-jasa itu sendiri,
mengingat sifatnya yangh abstrak, masuk ke suatu wilayah tidak melalui
pelabuhan (Customs) sehingga tidak dapat dihambat melalui tarif. Oleh karena
itu, proteksi yang dapat dilakukan dalam perdagangan jasa adalah dalam bentuk
SOC yang dibuat masing-masing negara sesua dengan keadaan negara tersebut yang
kemudian dirundingkan dengan mitra dagangnya.
SOC pada hakikatnya mengandung suatu
“reservation”, artinya negara yang membuat SOC tersebut tunduk pada ketentuan
GATS dengan disertai kondisi, pembatasan dan persyaratan sebagaimana tercantum
dalam komitmennya tersebut.
SOC ini diatur pada bagian III yang
terpisah dari bagian II GATS yang merupakan general obliagation. Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa Schedule of Commitment bukan merupakan
automatic obligation, tapi merupakan specific obligation. Artinya yang menjadi
kewajiban adalah sesuai dengan yang tecantum dalam SOC negara yang
bersangkutan.
Dalam bagian III GATS (specific
commitments) dikenal tiga macam komitmen, yaitu:
1.
Komitmen
market acces
2.
Komitmen
national treatment; dan
3.
Additional commitments.
Tiga macam komitmen ini digabung jadi
satu dalam SOC dari masing masing negara.
SOC dari masing-masing negara sesuai dengan pasal XX paragraph 3
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari GATS. Dengan demikian SOC tersebut
mengikat bagi negara yang membuatnya. Dengan SOC ini, tercermin juga suatu
prinsip, yaitu prinsip liberalisasi dalam perdagangan jasa dilakukan secara
bertahap (progressive liberalization) sesuai dengan keadaan dan kemampuan
negara masing-masing. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal XIX GATS.
c.
Transparansi[15]
` Prinsip Transparansi
ini diatur dalam pasal III GATS yang mewajibkan semua anggota
mempublikasikan semua peraturan perundangan,
pedoman pelaksanaan, serta semua keputusan dan ketentuan yang berlaku
secara secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang
mempunyai dampak pada pelaksanaan GATS. Disamping itu, juga diwajibkan untuk
memberitahukan Council For the Trade and Service (salah satu “badan” dalam WTO)
atas setiap perubahan atau dikeluarkannya peraturan perundangan yang baru yang
berdampak terhadap perdagangan jasa yang dicantumkan dalam SOC. Pemberitahuan
ini minimal dilakukan sekali dalam setahun.
Secara prinsip sistem WTO tidak
membedakan antara negara maju dan negara berkembang. Namun demikian, dalam
kondisi-kondisi tertentu kepada negara-negara berkembang diberikan perlakuan khusus.
Hal ini dapat dilihat dari perlakuan khusus yang diberikan kepada negara sedang
berkembang dalam penyampaian SOC. Penyampaian SOC ini merupakan salah satu
syarat untuk dapat menjadi original member WTO (pasal 11 WTO). Kepada
negara sedang berkembang (least developing country), diberikan waktu
sampai dengan April 1995, sedangkan untuk negara lainnya batas waktu penyerahan
adalah 15 Desember 1993.
Disamping itu, kepada negara sedang berkembang juga diberi
kemudahan dalam rangka meningkatkan partisipasinya melalui perundingan SOC yang
menyangkut:
1. Peningkatan
kapasitas jasa dalam negeri dan efesiensi serta daya saing sektor jasa dalam
negeri antara lain melalui akses kepada teknologi secara komersial;
2. Perbaikan
akses terhadap jaringan distribusi dan informasi; dan
3. Liberalisasi
akses pasar untuk sektor-sektor dan cara pemasokan yang menjadi kepentingan
bagi ekspor negara berkembang (pasal IV(1) GATS.
Kemudahan lainnya yang
diberikan kepada negara yang sedang berkembang adalah dalam rangka negosiasi
selanjutnya untuk mebuka pasar. Kepada mereka diberikan fleksibilitas yang
cukup untuk untuk membuka sektor yang lebih sedikit, melakukan perluasan akses
pasar secara bertahap sejalan dengan situasi pembangunannya (pasal XIX ayat 2
GATS).
Selanjutnya, dalam rangka
membantu negara sedang berkembang, negara maju diwajibkan untuk mendirikan
“contact point” untuk membantu negara berkembang dalam mengakses informasi
mengenai pasar masing-masing negara maju. Informasi tersebut meliputi :
1. Aspek komersial dan
teknis dari pemasok jasa;
2. Pendaftaran, pengakuan
dan cara memperoleh kualifikasi professional; dan
3. Tersedianya teknologi
jasa (pasal IV (2) GATS.
e.
Integrasi Ekonomi[17]
Kerja sama regional telah
lama dipandang sebagai pengecualian dari klausula MFN dalam perjanjian
perdagangan. Meskipun demikian, WTO secara prinsip tidak melarang anggotanya
untuk bergabung dengan organisasi kerjasama ekonomi regional seperti NAFTA
(Nort America Free Trade Agreement), atau mengadakan perjanjian liberalisasi
perdagangan jasa antara dua atau lebih negara, asal saja memenuhi beberapa
kriteria yang rinci dan kompleks sebagaimana diatur dalam pasal V GATS.
f.
Liberalisasi
bertahap
Liberalisasi
bertahap tersebut dilakukan dengan mewajibkan semua angota WTO untuk melakukan
putaran negosiasi yang berkesinambungan yang dimulai paling lambat lima tahun
sejak berlakunya perjanjian WTO (sejak 1 januari 1995). Negosiasi tersebut
harus dilakukan dengan mengurangi atau menghilangkan measures yang dapat
berdampak buruk terhadap perdagangan Jasa. Meskipun demikian, proses
liberalisasi harus dilakukan dengan tetap menghomati kepentingan nasional dan
tingkat pembangunan masing-masing (Pasal XIX ayat(1) GATS). Ketentuan dalam
pasal XIX dapat digunakan oleh negara maju untuk menekan negara berkembang
untuk melakukan perundingan selanjutnya. [18]
Dalam pada itu, komitmen
yang telah diberikan dalam rangka perundingan putaran Uruguay, dan telah
menjadi annex dari GATS, pada prinsipnya tidak boleh ditarik, diubah dan/atau
dikurangi. Perbaikan hanya dimungkinkan apabila dilakukan dengan maksud untuk
meningkatkan komitmen. Penarikan dan/atau perubahan komitmen yang diberikan
hanya dapat dilakukan dengan pembayaran kompenisasi kepada anggota yang
dirugikan (Pasal XXI GATS).[19]
g. Keadaan darurat
Escape Clauses merupakan
ketentuan yang penting dalam semua perjanjian internasional, yang hanya
diberlakukan dalam kondisi atau kesulitan yang tidak dapat diperkirakan
sebelumnya
Secara umum, escape clause
membolehkan suatu anggota dalam kondisi tertentu, untuk sementara menghindar
dari satu aspek perjanjian tanpa merusak tujuan dari perjanjian tersebut secara
keseluruhan. Escape Clause dalam suatu perjanjian memberikan kepastian bagi
penandatangan bahwa dalam situasi darurat, mereka dibenarkan untuk sementara
menghindar dari komitmen yang telah diberikan.[20]
Dalam GATS anggota dalam keadaan darurat juga dibenarkan untuk
melakukan penyimpangan sementara dari komitmen yang diberikannya. Penyimpangan
tersebut dapat dilakukan dalam hal kesulitan Negara pembayaran. Dalam kondisi
seperti ini anggota diperkenankan melakukan pembatasan-pembatasan didalam
perdagangan jasa yang telah dicantumkan dalam SOC-nya.
Pembatasan tersebut dilakukan dengan syarat: [21]
1. Tidak menimbulkan diskriminasi diantara sesama anggota;
2. Konsisten dengan ketentuan-ketentuan International Monetery
Fund (IMF)
3. Menghindarkan kerugian komersial, ekonomi dan keuangan anggota
lainnya;
4. Tidak melebihi hal-hal yang perlu untuk mengatasi keadaan;
5. Harus bersifat sementara dan harus dihapuskan secara bertahap.
Tindakan pengamanan darurat,
selain masalah kesulitan neraca pembayaran yang dapat dilakukan anggota, masih
akan dirundingkan secara multilateral. Perundingan tersebut sudah harus dimulai
paling lambat tiga tahun setelah berjalannya WTO. Hal ini untuk memberikan
kesempatan bagi anggota untuk mempelajari kesulitan apa saja yang mungkin
timbul setelah berjalannya GATS, mengingat perdagangan jasa belum diatur
sebelumnya.[22]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perdagangan jasa menurut pasal 1 ayat (1) GATS yang berbunyi :
“ This Agreement applies to measures by
member affecting trade in service”. Pasal ini mencoba memberikan penjelasan
bahwa yang dimaksud dengan Trade in Service adalah perdagangan jasa yang
dilakukan dengan cara.
e.
Jasa yang diberikan dari suatu wilayah negara lainnya
(cross-border) misalnya jasa yang mempergunakan media telekomunikasi;
f.
Jasa yang diberikan dalam suatu wilayah negara kepada suatu
konsumen dari negara lain (consumption abroad) misalnya turisme;
g.
Jasa yang diberikan melalui kehadiran badan usaha suatu negara
dalam wilayah negara lain (commercial presence) misalnya pembukaan kantor
cabang bank asing;
h.
Jasa yang diberikan oleh warga negara suatu negara dalam wilayah
negara lain (presence of natural person) misalnya
jasa konsultan, pengacara dan akuntan.
Perdagangan jasa memiliki
karakteristik-karakteristik yang membedakannya dengan perdagangan barang.
Pertama adalah nature of service transactions. Dalam sektor jasa, transaksi
mengharuskan kehadiran kedua belah pihak, yaitu produsen dan konsumen. Kedua, regulasi
dan kontrol yang besar pada perdagangan jasa. Regulasi dan kontrol yang besar
ini dalam rangka, pertama, menghindari resiko terjadinya market failure atau
kegagalan pasar dari kurangnya informasi atau lack of information yang didapat
konsumen pada produk yang akan dikonsumsinya. Ketiga, kesulitan untuk mendeteksi hambatan-hambatan
yang ada didalamnya. Lebih sulit untuk mendeteksi hambatan-hambatan yang berada
didalam perdagangan jasa daripada yang ada pada perdagangan barang. Keempat, jasa
itu bersifat intangible atau tidak nyata, tidak seperti barang yang
bersifat tangible atau nyata, yang mana berisi hak dan kewajiban.
Pengaturan mengenai Perdagangan jasa terdapat dalam General
Agreement on Trade in Services (GATS) yang merupakan suatu perjanjian yang relatif baru
dan juga merupakan perjanjian perdagangan multilateral yang pertama di bidang
jasa.
GATS
memuat beberapa aturan-aturan pokok mengenai liberalisasi jasa, yaitu:
1.
Most
Favoured-Nation Treatment (MFN)
2.
Protecting Through Specific Commitments
3.
Transparansi
4.
Peningkatan partisipasi negara yang sedang berkembang (Developed
Country)
5.
Integrasi Ekonomi
6.
Liberalisasi
bertahap
7.
Keadaan darurat
DAFTAR PUSTAKA
Syahmin
A.K. 2006. Hukum Dagang Internasional
(Dalam Kerangka Studi Analitis). PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Basuki
Antariksa, ”Pengaruh Liberalisasi
perdagangan Jasa Terhadap Daya Saing Kepariwisataan Indonesia”, Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Makalah,
29 Juli, 2010.
Direktorat
Perdagangan dan Perindustrian Multilateral Ditjen Multilateral Ekonomi,
Keuangan dan Pembangunan Departemen Luar Negeri RI, Buku Seri Terjemahan Persetujuan-Persetujuan WTO: Persetujuan Bidang
Jasa (General Agreement on Trade in Services/ GATS.
Naufi Ahmad
Naufal. Liberalisasi Jasa Konstrukasi Di
Indonesia dan Kesesuaian dengan Komitmen dalam General Agreement On Trade In Services (GATS-WTO) di Bidang Jasa
Konstrukasi. Tesis FH UI. 2008.
Safari Ar Rizqi.
Penyebab Lambatnya Penetapan Mutual
Recognition Arrangement Jasa ASEAN (1995-2005). Tesis. Fisip UI. 2010.
Nurchalis. Analisis Hukum Internasional
Terhadap Liberalisasi Perdagangan Dibidang Jasa Oleh Negara-Negara Asean
Melalui Afas (Asean Framework Agreement On Service). Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanudin
Makassar. 2013.
[1]
Basuki Antariksa, ”Pengaruh Liberalisasi perdagangan Jasa
Terhadap Daya Saing Kepariwisataan Indonesia”, Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Pegawai Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Makalah, 29 Juli, 2010.
[2]
Sherry
Stephenson, et.al, Services Trade Liberalisation and Facilitation, dalam
Safari Ar Rizqi. Penyebab Lambatnya Penetapan Mutual
Recognition Arrangement Jasa ASEAN (1995-2005). Tesis. Fisip UI. 2010. Hlm
5
[3]
Ibid.
[4] Ibid. hlm 6
[5] Syahmin A.K. 2006. Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi
Analitis). PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. hlm 64
[6]
Direktorat Perdagangan dan
Perindustrian Multilateral Ditjen Multilateral Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan Departemen Luar Negeri RI, Buku
Seri Terjemahan Persetujuan-Persetujuan WTO: Persetujuan Bidang Jasa (General
Agreement on Trade in Services/ GATS),
hlm. 1.
[7]
Mochtar Kusumaatmadja. Perjanjian WTO Mengenai Perdagangan
Internasional Jasa (GATS) Dilihat dari Prespektif Negara Berkembang, Seminar
Aspek Hukum Perdagangan Jasa Menurut WTO dan Komitmen Indonesia di Bidang
Finansial, Institut Bankir Indonesia, 6 Maret 1997. Dalam Naufi Ahmad Naufal.
Liberalisasi Jasa Konstrukasi Di Indonesia dan Kesesuaian dengan Komitmen dalam
General Agreement On Trade In Services
(GATS-WTO) di Bidang Jasa Konstrukasi. Tesis FH UI. 2008. Hlm 13.
[9] Ibid. hlm 15
[10]
Direktorat Perdagangan dan
Perindustrian Multilateral Ditjen Multilateral Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan Departemen Luar Negeri RI. Op.cit.
hlm 3
[11] Naufi Ahmad Naufal. Op.cit.
hlm 17
[12] Syahmin AK, Op.cit, hlm 170-180
[13]
Syahmin AK, ibid. hlm 184-185
[14] Ibid. 186-188
[15] Ibid. hlm. 191-192
[16] Ibid. hlm 192-194
[17] Ibid. hlm 194-195
[18] Ibid. hlm 195
[19] Ibid. hlm 196
[20] Ibid,
[21]
Ibid.hlm 197-198
[22] Ibid. hlm 198
0 komentar:
Post a Comment
BERKOMENTARLAH DENGAN BAIK DAN SOPAN!