PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA TERHADAP KERAJINAN TRADISIONAL INDONESIA
PERLINDUNGAN HUKUM HAK
CIPTA
TERHADAP KERAJINAN
TRADISIONAL INDONESIA
A.
Perlindungan
Hukum Terhadap Kerajinan Patung Kayu di Indonesia
Istilah
hak cipta di usulkan pertama kali oleh St. Moh. Syah Pada Kongres Kebudayaan di
Bandung tahun 1951 yang kemudian diterima oleh Kongres tersebut, sebagai
pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan
pengertiaanya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari
istilah bahasa Belanda Auteurs Rechts.[1]
Pengartian
Hak Cipta yang lebih luas, diatur dalam pasal
1 angka 1 UU Hak Cipta No. 19
Tahun 2002, yang menyatakan, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun
memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan ciptaan adalah hasil
setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu
pengetahuan, seni, atau sastra.[2]
Sementara
itu pengertian hak cipta menurut World Intellectual Property Organization
adalah : “ Copyright is alegal form dicribing right given to creator for the
literary and artistic work” Hak Cipta adalah terminology hukum yang
menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya mereka
dalam bidang seni dan sastra.[3]
Pertumbuhan
kerajinan kayu di indonesia sendiri berangkat dari bentuk-bentuk seni
tradisi yang merupakan kekayaan budaya sebagai landasannya. Dalam buku yang
berjudul Seni Hias Damar Kurung
membahas tentang seni tradisi. Seni Tradisi dijelaskan merupakan kekayaan
budaya yang dipergunakan sebagai landasan pertumbuhan seni daerah yang tumbuh
dengan subur sejak jaman dulu menjadi kekuatan lokal. Kerajinan kayu artinya
pembuatan barang-barang berbahan kayu yang dihasilkan melalui ketrampilan
tangan manusia. pembuatan barang-barang berbahan kayu dapat berupa relief
dan patung dengan motif atau bentuk binatang kaki empat, binatang laut dan
berbagai bentuk lainnya, yang dihasilkan melalui keterampilan tangan manusia.[4]
Sebagai
kebudayaan tradisional (Traditional Knowledge) yang turun temurun, maka
Hak Cipta kerajian patung kayu harus dilindungi, seperti yang diamanatkan oleh
pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yakni
“Negara memegang hak cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat
yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad,
lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”.
Adapun yang dimaksud dengan folklore dalam pasal ini adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang
dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas
sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau
diikuti secara turun temurun termasuk hasil seni antara lain berupa lukisan,
gambar, ukir-ukiran, pahatan, mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian,
instrument musik dan tenun tradisional.[5]
Perlindungan
hukum terhadap karya-karya intelektual manusia sangat penting artinya, terutama
masyarakat barat serta masyarakat industri maju yang memelopori perkembangan
system hukum HKI ini sangat concern menyikapi perlindungan hukumnya,
mengingat karya-karya yang masuk dalam lingkup HKI baik yang berupa karya seni,
sastra, penemuan teknologi, desain, merek dan karya HKI lainnya adalah
merupakan hasil kreativitas intelektual manusia yang lahir dari proses yang
sangat panjang, dengan pengorbanan berat, baik dari segi waktu, tenaga, biaya
dan pikiran. Hasil kreativitas intelektual dengan proses yang demikian mendalam
sebagaimana disebutkan diatas, memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, hasil
karya pada hakekatnya merupakan kekayaan pribadi dari mereka yang menemukannya,
menciptakan, maupun mendesain. Oleh karena itu sudah sepatutnya kepada mereka
diberikan perlindungan hukum secara individual yaitu dalam bentuk Hak Ekskusif
atas karya yang dilahirkannya.[6]
B.
Kasus
Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Kerajinan Patung Kayu di Indonesia
Karya seni tradisional khususnya
kerajinan patung kayu selain memiliki nilai seni dan estetika juga memiliki
nilai ekonomis, serta yang sering tidak kita sadari bahwa di dalamnya
terkandung hak cipta yang dilindungi undang-undang. Karena kurangnya kesadaran
kita terhadap hak cipta yang melekat pada suatu ciptaan, sehingga menyebabkan
banyaknya pelanggaran hak cipta yang terjadi di indonesia. Salah satu contoh
yang penulis ilustrasikan disini yang berkenaan dengan pelanggaran Hak cipta terhadap kerajinan
patung yang terjadi di Bali. Pelanggaran hak cipta ini dilakukan oleh turis
berkebangsaan Belanda yang memesan kerajinan patung kayu Bali ke pencipta
kerajinan kayu tersebut dalam jumlah besar untuk dikirim ke Belanda. Tentu saja
pencipta patung kayu tersebut merasa bangga karena karyanya disenangi dan mendapat
uang banyak serta bangga hasil karyanya bisa diekspor ke luar negeri. Tapi
permasalahan yang muncul kemudian adalah Ternyata di Belanda hasil kerajinan
tersebut didaftarkan sebagai karya cipta orang belanda tersebut, Dan pada produk kerajinan tersebut ditempelkan label
“Made in Belanda”.
1.
Analisis
Kasus Berkenaan Dengan Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Kerajinan Patung Kayu
Indonesia
Kasus yang terjadi antara pengrajin
patung kayu di bali dengan turis asal belanda tersebut diatas memang sangat
ironis, Karena pencipta patung kayu yang sesungguhnya tidak mendapatkan hak
yang memang selayaknya menjadi miliknya secara utuh, padahal pencipta inilah
yang telah berkorban baik waktu, tenaga, pikiran maupun materi untuk
menghasilkan ciptaannya. Padahal jika kita telaah dalam sistem peraturan
perundang-undangan negara kita yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang
Hak Cipta, karya seni tradisional yang merupakan suatu ciptaan masuk dalam
lingkup perlindungan hak cipta. seperti yang
diamanatkan oleh pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak
Cipta yakni “Negara memegang hak cipta atas folklore dan hasil
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng,
legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan
karya seni lainnya”. Meskipun telah ada instrumen hukum yang mengatur
mengenai hal tersebut, tetapi masih terdapat suatu masalah, yaitu soal
pembuktian bahwa pengrajin patung kayu di Bali tersebut merupakan pencipta yang
sesungguhnya dari kerajinan patung kayu yang telah di daftarkan oleh turis
tersebut di negaranya.
Dalam kasus ini, pengrajin patung
kayu (pencipta patung kayu yang sesungguhnya) berada dalam posisi hukum yang
lemah, karena bukti hukum yang menunjukkan bahwa ciptaan tersebut adalah hasil
karyanya tidak dapat di buktikan, ini dikarenakan kerajinan patung kayu itu belum
ia daftarkan ke DIRJEN HKI. Sehingga ia belum mendapatkan pengakuan secara
hukum atas karya cipta tersebut.
Sedangkan dalam kasus ini, turis
berkebangsaan Belanda berada dalam posisi hukum yang kuat, ini dikarena ia
telah mendaftarkan hasil karya cipta tersebut di negaranya. Sehingga, ia
memiliki bukti hukum yang kuat yang dapat membuktikan bahwa hak cipta dari patung
kayu tersebut adalah miliknya.
2.
Pendapat
Hukum Penulis
Maraknya pelanggaran hak cipta
terhadap suatu karya cipta khususnya kerajinan tradisional di Indonesia disebabkan
karena masih lemahnya penegakan hukum di bidang HAKI. Meskipun di indonesia
telah di berlakukan UU tentang Hak Cipta, tetapi dalam sistem perundang-undangan
kita, mendaftarkan suatu ciptaan bukan merupakan suatu kewajiban bagi pencipta
karya tersebut, atau dengan kata lain, UU Hak Cipta tidak memberikan kewajiban
kepada para pencipta untuk mendaftarakan ciptaannya. sehingga banyak pencipta
tidak mendaftarkan ciptaannya, yang dampaknya bisa mempersulit pembuktian
secara formal jika timbul sengketa di kemudian hari. Permasalahan lain yang
muncul adalah dalam masyarakat tradisional yang mempunyai sifat komunal
biasanya ciptaan yang telah dihasilkan seseorang akan dimanfaatkan secara
kolektif oleh anggota masyarakat yang lain, sehingga pencipta yang sesungguhnya
kurang dapat menikmati hak ciptanya secara eksklusif atau bahkan ciptaannya itu
disalahgunakan oleh anggota masyarakat untuk keuntungan pribadinya.
Meskipun perubahan pada Undang-Undang di
bidang HaKI yang cukup dinamis, tetapi itu memberikan dampak yang nyata
terhadap pemahaman dan kesadaran pencipta atas hak ciptanya. Ini
dikarenakan perubahan
atas UU tersebut tidak diiringi dengan usaha pemerintah untuk melakukan
sosialisasi guna terciptanya perlindungan HaKI. Karena pada kenyataannya
perlindungan HaKI di Indonesia masih sangat lemah, ini terbukti dari banyaknya
kasus pembajakan terhadap produk yang sudah dilindungi dengan hukum HaKI.
Bertolak belakang dari kenyataan tersebut,
Indonesia masih harus melakukan Peraturan HAKI secara efektif. Sehingga kesadaran
dan perlindungan hukum yang memadai terhadap pemilik dan atau pemegang HaKI
dapat dilakukan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa
pokok permasalahan yang menjadi faktor terjadinya berbagai macam pelanggaran
terhadap hak cipta adalah tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat khususnya
pencipta masih sangat rendah, sehingga hal ini menimbulkan kendala bagi
pencipta untuk memiliki dan mendayagunakan hak ciptanya secara eksklusif dan
melindungi hak tersebut dari pelanggaran hak oleh pihak lain.
C.
kesimpulan
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa yang menjadi permasalah utama dalam negara kita
ini sehingga pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual khususnya Hak Cipta
adalah tingkat pemahaman dan kesadaran masayarakat terutama para pencipta
terhadap karya ciptanya masih sangat rendah, sehingga hal ini menimbulkan
kendala bagi pencipta untuk memiliki dan mendayagunakan hak ciptanya secara
eksklusif dan melindungi hak tersebut dari pelanggaran hak oleh pihak lain. Di
samping itu, kendala lain adalah masih lemahnya penegakan hukum di bidang HAKI.
Meskipun di indonesia telah di berlakukan UU tentang Hak Cipta, tetapi dalam
sistem perundang-undangan kita, mendaftarkan suatu ciptaan bukan merupakan
suatu kewajiban bagi pencipta karya tersebut, atau dengan kata lain, UU Hak
Cipta tidak memberikan kewajiban kepada para pencipta untuk mendaftarakan
ciptaannya. sehingga banyak pencipta tidak mendaftarkan ciptaannya, yang
dampaknya bisa mempersulit pembuktian secara formal jika timbul sengketa di
kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Ajip Rasidi,1984, Udang-Udang
Hak Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam, Djambatan: Jakarta.
Husain
Audah. 2004. Hak Cipta & Karya Cipta Musik, PT. Pustaka Litera
Antara Nusa: Bogor.
Richard Burton Simatupang, 1995, Aspek
Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta: Jakarta.
DOKUMEN:
Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.
WEBSITE:
0 komentar:
Post a Comment
BERKOMENTARLAH DENGAN BAIK DAN SOPAN!