MAKALAH TENTANG GEOSTATIONARY ORBIT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
GeoStationary Orbit (selanjutnya di singkat GSO) merupakan suatu orbit lingkaran yang terletak
sejajar dengan bidang khatulistiwa bumi dengan ketinggian ± 35.786 km dari
permukaan wilayah khatulistiwa bumi. Keistimewaan dari GSO adalah bahwa satelit
yang ditempatkan pada orbit ini akan bergerak mengelilingi bumi sesuai dengan
rotasi bumi itu sendiri. GSO sebagai kenyataan alamiah diketengahkan pertama
kali oleh ahli terkemuka kelahiran Inggris : Arthur Clark pada tahun
1945, yang menyatakan bahwa GSO merupakan cincin dengan diameter ± 150 km dan
mempunyai ketebalan ± 70 km. Kelebihan lain dari jalur GSO ini adalah, jika
kita menempatkan sebuah satelit di jalur tersebut maka satelit akan dalam
keadaan tidak bergerak dan hanya dengan lebar 17° saja akan dapat meliput
sepertiga dari bagian bumi.[1]
GSO merupakan orbit geosinkron,
yakni orbit satelit yang periode putarannya sama dengan rotasi bumi pada
sumbunya. Dengan demikian, sebuah satelit yang ditempatkan di GSO akan selalu
tetap kedudukannya terhadap permukaan bumi, sehingga antena penangkap di bumi
tidak perlu dipindah-pindahkan atau dirubah posisinya. Dibanding dengan orbit
satelit lainnya, yakni Middle Earth Orbit (MEO), dan Low Earth Orbit (LEO), GSO
merupakan tempat yang paling ekonomis dan efektif untuk menempatkan satelit,
khususnya satelit komunikasi. Hal ini disebabkan satelit yang ditempatkan pada
GSO dapat meliput permukaan bumi lebih luas dan dapat dimanfaatkan setiap saat.[2]
Salah
satu dari kegiatan ruang angkasa adalah pemanfaatan satelit yang ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (GSO).
Penempatan satelit di wilayah GSO oleh negara-negara dengan tingkat ilmu pengetahuan
dan teknologi yang maju memiliki beberapa tujuan, antara lain
sebagai sarana
telekomunikasi, pemantauan lingkungan, dan cuaca. Namun seringkali penempatan satelit di orbit ini tidak dimanfaatkan sebagai mana mestinya. Penggunaan satelit mata-mata merupakan pemanfaatan satelit untuk tujuan tidak damai, penginderaan jarak jauh tanpa izin dari negara yang diindera atas data sumber-sumber alam dan siaran langsung melalui satelit dengan tujuan untuk propaganda adalah kegiatan-kegiatan dari pemanfaatan satelit yang bisa melanggar hak-hak prerogatif negara berdaulat.[3]
telekomunikasi, pemantauan lingkungan, dan cuaca. Namun seringkali penempatan satelit di orbit ini tidak dimanfaatkan sebagai mana mestinya. Penggunaan satelit mata-mata merupakan pemanfaatan satelit untuk tujuan tidak damai, penginderaan jarak jauh tanpa izin dari negara yang diindera atas data sumber-sumber alam dan siaran langsung melalui satelit dengan tujuan untuk propaganda adalah kegiatan-kegiatan dari pemanfaatan satelit yang bisa melanggar hak-hak prerogatif negara berdaulat.[3]
Namun, permasalahan yang kemudian
muncul dan dihadapi masyarakat internasional adalah adanya ketidakadilan dalam
memanfaatkan GSO tersebut. Hal ini disebabkan karena GSO dipandang sebagai
bagian dari ruang angkasa (outer space),
sehingga di GSO berlaku prinsip kebebasan dalam pemanfaatan. Sebagai akibat
berlakunya prinsip kebebasan bagi setiap Negara dalam memanfaatkan GSO, maka
berlakulah prinsip first come, first
served. Prinsip tersebut menyebabkan Negara-negara maju yang memiliki
teknologi tinggi dibidang ruang angkasa dapat memanfaatkan lebih dulu.[4]
Adanya perbedaan pandangan antara
Negara-negara khatulistiwa dan Negara-negara teknologi maju mengenai GSO disebabkan
karena belum adanya ketegasan ats definisi ruang udara dan ruang angkasa.
Sehingga Negara-negara Negara-negara khatulistiwa menghendaki agar GSO diatur
secara khusus melalui suatu rejim hukum khusus (sui generis). Indonesia
bersama-sama dengan Negara khatulistiwa lainnya seperti Kolombia, Ekuador,
Brasil dan Kenya sejak awal telah memperjuangkan secara aktif terbentuknya
rejim hukum khusus (sui generis) mengenai GSO dalam sidang-sidang sub komite
UNCOPUOS.[5]
Indonesia sebagai negara khatulistiwa dengan jalur Geostationer Orbit terpanjang
di dunia mempunyai kepentingan nasional yang sangat besar, termasuk
resiko dari penempatan satelit di orbit ini seperti kegiatan mata-mata (spionase)
yang dilakukan oleh negara lain atas wilayah kedaulatan Indonesia. Orbit Geostasioner merupakan orbit sinkron di atas katulistiwa
pada ketinggian kurang lebih 36.000 km,
dimana sebuah satelit
yang ditempatkan akan tampak statis terhadap suatu titik dipermukaan bumi.
Dengan karakteristiknya tersebut
GSO mempunyai nilai ekonomis
dan strategis yang sangat penting bagi semua negara. Apalagi mengingat kenyataan bahwa GSO merupakan
sumber daya alam yang terbatas (limited natural resources).
Sehingga tidak mengherankan bila semua negara
di dunia, baik itu negara
berkembang atau negara maju berlomba-lomba
untuk memanfaatkan wilayah ini
untuk kepentingan nasionalnya.[6]
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pengaturan GSO menurut Hukum Internasional?
2. Sejauh
mana kepentingan Indonesia atas GSO?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui bagaimana pengaturan GSO menurut Hukum Internasional.
2. Untuk
mengetahui Arti penting GSO bagi kepentingan Nasional Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengaturan
Hukum mengenai pemanfaatan GSO
Pada dasarnya pengaturan Geostasioner Orbit tidak diatur secara khusus dalam Space
Treaty 1967 maupun konvensi-konvensi internasional lain. Namun, karena letak GSO yang berada
di wilayah ruang angkasa maka pengaturannya
berlaku Space Treaty 1967. Dengan demikian setiap negara bisa
memanfaatkan wilayah ini tanpa diskriminasi, tetapi penguasaan secara nasional dilarang. Pasal 2 Space
Treaty ”Outer
space, including the moon and other celestial
bodies, is not subject to national
appropriation by claim of sovereignty, by means
of use or occupation, or by any other means”.
Ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda
langit lainnya, bukan merupakan subjek yang dapat dimiliki dengan suatu klaim kedaulatan, dengan cara apapun termasuk
dengan penundukan, atau dengan
cara lain. Berdasarkan ketentuan ini ruang angkasa merupakan wilayah bebas yang tidak berada dibawah kedaulatan negara, sama halnya
seperti laut bebas.[7]
Pelaksanaan Peraturan Hukum Atas Pemanfaatan GSO terbagi menjadi:
Pertama, GSO sebagai wilayah strategi
bagi penempatan satelit komunikasi. GSO adalah suatu jalur yang
sangat potensial untuk penempatan satelit-satelit khususnya satelit
komunikasi. GSO merupakan suatu orbit yang berbentuk
cincin yang terletak
pada enam radian
bumi di atas garis
khatulistiwa, dimana satelit komunikasi harus ditempatkan dalam orbit tersebut agar berada pada posisi tetap di ruang angkasa terhadap bumi.[8]
Jalur
GSO merupakan
jalur potensial bagi penempatan satelit komunikasi, itu hanya terdapat di atas negara-negara khatulistiwa saja,
seperti Kolombia, Kongo, Ekuador,
Kenya, Uganda,
Zaire, Brasil
dan Indonesia.
Dengan melihat kondisi objektif dari GSO yang hanya dimiliki oleh negara-negara khatulistiwa saja maka jelaslah bahwa
GSO ini merupakan salah satu sumber daya alam yang terbatas. Secara yuridis, status GSO sebagai sumber daya alam yang
terbatas dapat dijumpai pada pasal 33 (2) dari ITU Convention
tahun 1973 sebagai
berikut:[9]
“In using frequency bands for souce radio
services members shall
bear in mind that radio frequencies and the Goestationary satellites orbit are limited natural resources,
that they must be used efficienly
and eco- nomically.”
Secara yuridis,
pemanfatan GSO oleh negara-negara
dewasa ini masih mendasarkan diri pada
prinsip ketentuan yang terkandung dalam
Space Treaty 1967 artikel II. Walaupun
pada artikel tersebut dikatakan bahwa ruang
angkasa
yang termasuk pula GSO
karena
berada dalam hampa
udara, juga bulan dan benda-benda langit lainnya tidak boleh dijadikan sebagai objek pemilikan nasional
dengan jalan klaim kedaulatan terhadap objek tersebut. Dalam kenyataannya tampak
bahwa seolah-olah
negara maju adalah
negara yang memiliki jalur tersebut. Prinsip first come first served, telah membawa suasana kompetisi serta
mengakibatkan lahirnya technological appropriation. Hal ini me-
nambah keadaan kelompok negara-negara khatulistiwa dan negara berkembang
lainnya semakin dirugikan. Hal inilah yang menjadikan pertentangan
antara negara-negara maju khususnya
Amerika Serikat
dan Uni
Soviet dengan negara-negara ekuator
dan negara- negara berkembang lainnya di sisi lain.[10]
Negara-negara khatulistiwa menginginkan adanya suatu pengaturan Hukum Internasional yang tidak merugikan posisi
mereka dalam
rangka pemanfaatan sumber daya GSO tersebut.
Sejak awal negara khatulistiwa tersebut
mencoba memperjuangkan
penempatan GSO lebih adil sebagaimana
dinyatakan dalam Deklarasi
Bogota
tahun 1976. Namun, negara-negara maju terutama
Amerika Serikat dengan kemampuan teknologinya selalu menekankan efisiensi penggunaan GSO sebagai
hal utama yang harus
ditempuh dalam pemecahan masalah, dan tidak tertarik untuk melakukan
suatu pemecahan melalui jalur hukum.
Masalah GSO masih menjadi
masalah pokok di dalam sidang
Subkomite Hukum.
Pada sidang ke 28 di New York, negara-negara menyampaikan statementnya
mengenai GSO,
dan setelah mengemukakan pernyataan-pernyataannya, dalam suatu pembahasan dalam kelompok kerja
dihasilkan 5 prinsip mengenai GSO yang pokok-pokoknya
adalah sebagai berikut:
a. GSO is a limited natural
resource;
b. The development of space science and technology applied in the utilization of GSO;
c. GSO should be used exclusively for peaceful purposes;
d. GSO is an orbit
which lies in the plane of
Earth`s equator;
e.
All States should be guaranteed in prac-
tice equitable access to the GSO.[11]
Pengaturan mengenai aspek teknis penggunaan GSO
dibahas dan dikeluarkan
oleh ITU. Pengaturan
aspek
teknis ini selalu dimutakhirkan
sejalan dengan kemajuan
teknologi telekomunikasi dan kebutuhan
negara-negara, dengan maksud untuk dapat mengakomodasikan
kepentingan semua
negara penyelenggara dan penggunaan
jasa telekomunikasi.[12]
Dalam Konvensi ITU Tahun 1973 (Malaga, Torremolinos), dimuat
ketentuan yang berkaitan dengan GSO, sebagai berikut: [13]
(a) GSO merupakan sumber alam terbatas,
karena itu
harus digunakan secara ekonomis dan efisien;
(b) Penggunaan secara equitable disesuaikan dengan kebutuhan dan
fasilitas teknis yang dimilikinnya.
Sebagaimana
telah disinggung di atas, dengan rumusan butir b. tersebut, maka berlaku
prinsip
first come first
served yang hanya menguntungkan negara-negara yang memiliki kemampuan ilmiah dan teknologi, karena hanya kelompok negara-negara inilah yang dapat menggunakan GSO. Pada Sidang ITU Tahun 1977 di Jenewa,
untuk
pertama kalinya Deklarasi Bogota 1976
diumumkan dan diperjuangkan, namun dalam form
ini negara khatulistiwa tidak berhasil
memasukkannya ke dalam agenda sidang. Putusan sidang akhirnya
menyatakan bahwa UNCOPUOS
yang berwenang membahas tuntutan negara khatulistiwa tersebut. Namun dalam pertemuan
Nairobi (Kenya) tahun 1982, tuntutan
negara khatulistiwa dan hasil
Unispace 1982 telah mempengaruhi rumusan ketentuan ITU sebagaimana tercermin
dari
rumusan
Pasal 33
ayat (2) Konvensi ITU yang diubah menjadi “all countries have equal access for space radio communication services and position in the GSO”. Dengan rumusan baru ini,
semua negara mendapatkan kesempatan akses secara adil untuk menggunakan GSO.[14]
Pada pertemuan WARC (World Admi- nistrative Radio Conference 1985), telah
diajukan prinsip apriori planning, yaitu sebagai upaya yang memungkinkan setiap negara memperoleh kesempatan
yang sama
dalam pemanfaatan GSO tanpa memandang tingkat
perkembangan
kemampuan ekonomi serta ilmu
pengetahuan dan teknologinya. Rencana apriori planning tersebut membawa implikasi
yang luas, terutama terhadap tuntutan kedaulatan yang
diajukan oleh negara khatu- listiwa, karena berdasarkan apriori planning, maka slot
orbit di GSO telah direncanakan
terlebih dahulu penggunaannya,
termasuk GSO yang berada
di atas wilayah negara khatulistiwa.[15]
Pada WARC 1998, ketentuan first come first
served diganti menjadi Allotment
Plan,
yang berisi pengalokasian jalur
spectrum frekuensi tertentu bagi Fised Satellite Services (FSS) dan rejim pengaturan terhadap Unplan- ned Bands. Dengan Allotment Plan pada
dasarnya
semua negara mendapatkan minimal satu slot orbit GSO, baik untuk kepentingan telekomunikasi maupun penyiaran. Unplan- ned Bands dimaksudkan untuk menampung jasa-jasa yang belum direncanakan dan di-
tempuh berdasarkan prosedur frequency
as- signment sesuai dengan Pasal 11, 12, 13, dan
14 Radio Regulation, yaitu melalui tiga tahap: (1). advance publication; (2). coordination;
and (3). notifation and recording in MIFR (Master International Frequency Register).
Dalam perkembangan selanjutnya beberapa pasal penting yang mengatur GSO dimuat di
dalam Konstitusi ITU 1994 dan Radio Regulation. Pasal-pasal tersebut
meliputi:[16]
a. Konstitusi ITU 1994, Kyoto. Dalam pasal 1 (butir 11a) dan Pasal 44,
Nomor 196 Paragraf 2 Konstitusi ITU
1994, Kyoto yang
menyatakan bah-
wa spectrum frekuensi radio dan GSO adalah sumber alam
terbatas dan harus digunakan secara
rasional, efisien dan ekonomis, agar negara
atau kelompok negara mempunyai persamaan akses terhadap sumber alam tersebut, dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus negara berkembang
dan situasi geogra-
fis negara-negara tertentu.
b. Radio Regulation. Edisi tahun 1993 Pasal 11, 12, 13 dan 14
yang mengatur mengenai prosedur koordinasi penentuan penggunaan spectrum
frekuensi termasuk slot orbit di GSO.
Maksud ITU membuat pengaturan tersebut di atas adalah untuk dapat
mengakomodasikan kepentingan semua negara yang
mempunyai jangkauan jauh ke depan. Namun dalam kenyataannya telah menimbulkan masalah
baru, antara lain munculnya
pengajuan “paper satellites” oleh
berbagai negara, yaitu pengajuan penggunaan
slot-slot tertentu untuk satelit-satelit yang belum jelas
rencana peluncuran. Adanya paper
satellite tersebut dipandang dapat mengurangi
optimalisasi pemanfaatan GSO, di samping
menutup peluang negara-negara
lain yang lebih membutuhkan.[17]
“The
ITU regulatory regime
treats all count- ries equally; the basis for use is the some for
all States even thought all states may not be able
to take equal advantage of the oppor- tunity. In other words, legal equality exists, although factual equality may not.”
Masalah pengajuan Paper Satellite tersebut diatas, telah mulai
dibahas pada Plenipotentiary Conference
Tahun
1994 di Kyoto dan
dilanjutkan di Genewa pada tahun 1997 yang lalu dan
telah diajukan beberapa
usul
untuk mengantisipasinya. Usul-usul tersebut
antara lain dengan mengharuskan negara
yang mengajukan permohonan slot orbit dan penggunaan spectrum frekuensi mendepositkan sejumlah
dana kepada ITU sebagai suatu jaminan bahwa
negara tersebut benar-benar berniat meluncurkan satelitnya ke GSO, atau menggunakan pendekatan procedural teknis (tehnical monitoring) untuk mengetahui perkembangan atau kemajuan
teknologi yang akan direncanakan dan diluncurkan. Di samping itu, sejak tanggal 22 November
1997 diberlakukan syarat “Administrative Due Di- ligence”
yaitu suatu persyaratan administratif dalam penggunaan spektrum frekuensi dan
orbit satelit. Persyaratan
ini adalah berupa
pemberian laporan pada biro yang berisikan informasi tentang negara
yang meluncurkan, operator, kontrak dengan pembuat stelit, kontrak dengan
kendaran peluncur dan lain sebagainya. Selain itu, hal-hal penting yang dipandang masih memerlukan pengaturan dalam penyelenggaran Sistem Komunikasi Satelit adalah pengaturan yang terkait
dengan prosedur pemanfatan lokasi, slot orbit di GSO dan penggunaan
spectrum frekuensi.
Forum
lain yang dapat dicatat dalam kaitan dengan pembahasan masalah GSO di forum
internasional adalah UNISPACE 1982 di Wina. Dalam
konferensi
tersebut secara khusus telah dipertimbangkan
implikasi penggunaan GSO. Kebutuhan dan kemungkinan mengoptimumkan
penggunaannya, dan guna menetapkan tindakan-tindakan
yang harus dilakukan untuk
mencapai tujuan
tersebut. Pada kesempatan
ini
negara-negara khatulistiwa kembali
mengusulkan pembentukan suatu rezim hukum sui
generis bagi GSO.[18]
Demikian juga kepentingan-kepentingan dasar negara khatulistiwa yang mempunyai special
geographical situatioan telah
mulai diperhatikan. Negara-negara yang termasuk dalam Kelompok 77, berhasil memperjuangkan suatu deklarasi tentang GSO yang menyatakan:
a.
Increasing members of satellite are being use of
various porpuses by different contries.
b.
Desirable that member states,
within the ITU:
(1)
Continue to evolve some criteria for the mostequitable and efficient usesage
of GSO and the RF spect- rum;
(2)
To develop planning methods/ar- rangements
that are based on the genuine needs both present and future;
(3) Such a planning method
should take into account the specific needs
of the developing countries as well as the
special geographical situation
of particular countries.
B.
Kepentingan
Nasional Indonesia Atas GSO
Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang sepanjang
garis khatulistiwa, serta kedudukannya sebagai wilayah penghubung yang terletak
pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Indonesia sebagai negara
khatulistiwa yang terpanjang, secara geografis adalah merupakan negara yang
mempunyai kolong yang sama panjangnya dengan segment GSO yang berada diatas
wilayah Indonesia.[19]
Dengan memperhatikan kondisi geografis yang sedemikian dan
juga memperhatikan kemanfaatan GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat dijadikan
sebagai tempat bersemayamnya satelit-satelit untuk berbagai kepentingan bangsa
Indonesia saat ini dan masa yang akan datang, maka kelangsungan dan
kelanggengan serta keamanan dalam pemanfaatan segmen GSO yang berada di wilayah
kepentingan Indonesia harus selalu dapat terjamin.[20]
Kepentingan Nasional Indonesia
sesungguhnya secara eksplisit sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945. Khusus menyangkut pemanfaatan GSO, maka terkait
erat dengan dukungan untuk komunikasi melalui satelit komunikasi untuk kepentingan Indonesia.
Dalam kaitan ini
kepentingan nasional
mendasar yang perlu dipertahankan dan diperjuangkan oleh bangsa
Indonesia, antara lain adalah:
1. Terlindungnya bangsa Indonesia dan keutuhan wilayah nasional Republik
Indonesia dari setiap tantangan, ancaman, hambatan dan
gangguan
baik
yang datiang dari luar maupun dari dalam;
2. Tercipta dan terpeliharanya
stabilitas nasional, serta terjadinya
stabilitas regional
dan internasional demi keberhasilan pembangunan nasional Indonesia selanjutnya; dan
3.
Terjaganya ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi serta keadilan sosial.[21]
Untuk mewujudkan Kepentingan Indonesia
tersebut di atas, salah
satu cara adalah melalui penggunaan GSO, yaitu dengan memanfaatkan
hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi
serta memanfaatkan potensi GSO seoptimal mungkin untuk
mendukung
pembangunan nasional, di dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar
1945.
Putusan Indonesia untuk memiliki sendiri satelit komunikasi
merupakan suatu
putusan yang
sangat strategis, karena telah
bersama-sama dirasakan bukan saja
man- faatnya sebagai alat pemersatu bangsa dan negara, tetapi juga dapat
memacu
kemampuan
teknologi telekomunikasi antariksa Indonesia pada khususnya, dan teknologi antariksa pada umumnya. Selain penggunaan
GSO melalui pemanfaatan
satelit-satelit yang memiliki dan dioperasikan sendiri, Indonesia
juga memanfaatkan satelit-satelit negara lain
atau organisasi internasional yang
ditempatkan di GSO
untuk keperluan pengamatan cuaca, pemantauan lingkungan serta navigasi lalu lintas udara dan
lautan. Menyadari
bahwa GSO juga potensial untuk
digunakan bagi keperluan-keperluan lainnya, maka tidak
tertutup kemungkinan dimasa mendatang
Indonesia akan ikut memanfaatkan
GSO untuk
keperluan diluar bidang-bidang aplikasi tersebut
di atas. Dengan kondisi dan status pemanfaatan GSO untuk berbagai keperluan
tersebut, maka
GSO telah menjadi
kawasan kepentingan Indonesia yang sangat vital.[22]
Berdasarkan kenyataan
tersebut di atas, maka kepentingan Indonesia atas GSO baik saat ini maupun di masa mendatang adalah:
a. Terjaminnya kesinambungan penggunaan GSO oleh Indonesia untuk keperluan telekomunikasi, penyiaran, dan meteorologi serta kemungkinan pengembangan
bidang
lainnya;
b. Terjaminnya satelit-satelit Indonesia
dari segala macam ancaman dan gangguan pihak-pihak
lain yang dapat merugikan Indo- nesia; (c). Terjaminnya GSO dari penggunaan
yang dapat membawa dampak negatif baik terhadap lingkungan
GSO
itu sendiri mau-
pun bumi,
khususnya terhadap wilayah In- donesia;
c. Adannya peluang
bagi Indone- sia untuk setiap saat dapat menggunakan slot orbit dan spektrum
frekuensi di GSO apabila sewaktu-waktu diperlakukan Indonesia bagi kepentingan nasionalnya;
d. Dapat dihindarkan penggunaan GSO dari segala bentuk kegiatan yang bukan
untuk
maksud
damai dan
kemanusiaan.[23]
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Secara yuridis, pemanfatan GSO oleh negara-negara
dewasa ini masih mendasarkan diri pada
prinsip ketentuan yang terkandung dalam
Space Treaty 1967 artikel II. Walaupun
pada artikel tersebut dikatakan bahwa ruang
angkasa
yang termasuk pula GSO
karena
berada dalam hampa
udara, juga bulan dan benda-benda langit lainnya tidak boleh dijadikan sebagai objek pemilikan nasional
dengan jalan klaim kedaulatan terhadap objek tersebut. Dalam kenyataannya tampak
bahwa seolah-olah
negara maju adalah
negara yang memiliki jalur tersebut. Prinsip first come first served, telah membawa suasana kompetisi serta
mengakibatkan lahirnya technological appropriation. Hal ini me-
nambah keadaan kelompok negara-negara khatulistiwa dan negara berkembang
lainnya semakin dirugikan. Hal inilah yang menjadikan pertentangan
antara negara-negara maju khususnya
Amerika Serikat
dan Uni
Soviet dengan negara-negara ekuator
dan negara- negara berkembang lainnya di sisi lain.
Dalam Konvensi ITU Tahun 1973, dimuat ketentuan yang berkaitan dengan
GSO, sebagai berikut:
a. GSO merupakan sumber alam terbatas,
karena itu
harus digunakan secara ekonomis dan efisien;
b. Penggunaan secara equitable disesuaikan dengan kebutuhan dan
fasilitas teknis yang dimilikinnya.
Dalam perkembangan selanjutnya beberapa pasal penting yang mengatur GSO dimuat di
dalam Konstitusi ITU 1994 dan Radio Regulation. Pasal-pasal tersebut
meliputi:
a. Konstitusi ITU 1994, Kyoto.
Dalam pasal 1 (butir 11a) dan Pasal 44,
Nomor 196 Paragraf 2 Konstitusi ITU
1994,
Kyoto yang
menyatakan bahwa spectrum frekuensi radio dan GSO adalah sumber alam
terbatas dan harus digunakan secara
rasional, efisien dan ekonomis, agar negara
atau kelompok negara mempunyai persamaan akses terhadap sumber alam tersebut, dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus negara berkembang
dan situasi geografis negara-negara tertentu.
b. Radio Regulation.
Edisi tahun 1993 Pasal 11, 12, 13 dan
14 yang
mengatur mengenai prosedur
koordinasi penentuan penggunaan spectrum frekuensi termasuk slot orbit di GSO.
Kepentingan Nasional Indonesia
atas GSO, secara eksplisit sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945. Khusus menyangkut pemanfaatan GSO, maka terkait
erat dengan dukungan untuk komunikasi melalui satelit komunikasi untuk kepentingan Indonesia.
Dalam kaitan ini
kepentingan nasional
mendasar yang perlu dipertahankan dan diperjuangkan oleh bangsa
Indonesia, antara lain adalah:
1. Terlindungnya bangsa Indonesia dan keutuhan wilayah nasional Republik
Indonesia dari setiap tantangan, ancaman, hambatan dan
gangguan
baik
yang datiang dari luar maupun dari dalam;
2. Tercipta dan terpeliharanya
stabilitas nasional, serta terjadinya
stabilitas regional
dan internasional demi keberhasilan pembangunan nasional Indonesia selanjutnya; dan
3.
Terjaganya ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi serta keadilan
sosial.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kepentingan
Indonesia atas GSO baik saat ini maupun di masa mendatang adalah:
a. Terjaminnya kesinambungan penggunaan GSO oleh Indonesia untuk keperluan telekomunikasi, penyiaran, dan meteorologi serta kemungkinan pengembangan
bidang
lainnya;
b. Terjaminnya satelit-satelit Indonesia
dari segala macam ancaman dan gangguan pihak-pihak
lain yang dapat merugikan Indo- nesia; (c). Terjaminnya GSO dari penggunaan
yang dapat membawa dampak negatif baik terhadap lingkungan
GSO
itu sendiri mau-
pun bumi,
khususnya terhadap wilayah In- donesia;
c. Adannya peluang
bagi Indone- sia untuk setiap saat dapat menggunakan slot orbit dan spektrum
frekuensi di GSO apabila sewaktu-waktu diperlakukan Indonesia bagi kepentingan nasionalnya;
d. Dapat dihindarkan penggunaan GSO dari segala bentuk kegiatan yang bukan
untuk
maksud
damai dan
kemanusiaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Agus
Pramono. 2011. Dasar-Dasar Hukum Udara
dan Runag Angkasa. Ghalia Indonesia: Bogor.
----------Orbit
Geostasioner (GSO) dalam Hukum Internasional
dan Kepentingan Nasiona
Indonesia. Artikel. Fakultas Hukum Unversitas
Diponegoro, Semarang. 2011.
Akbar
Kurnia. Pemanfaatan segmen Geostationary
Orbit (GSO)
Berdasarkan Space Treaty 1967.Di http://akbarkurnia.blogspot.com/2011/06/pemanfaatan-segmen-geostationary-orbit.html
Diah Apriani Atika Sari. Pemanfataan
Wilayah Geostationer Orbit dan Satelit (Kajian Terhadap
Kedaulatan
Negara Indonesia) Artikel. Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
2012.
[2]
Akbar Kurnia. Pemanfaatan
segmen Geostationary. di
http://akbarkurnia.blogspot.com/2011/06/pemanfaatan-segmen-geostationary-orbit.html
[3]
Diah Apriani Atika Sari.
Pemanfataan Wilayah Geostationer Orbit dan Satelit (Kajian Terhadap Kedaulatan
Negara Indonesia) Artikel. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
2012.
[4] Akbar kurnia. Opcit.
[5] Ibid
[7] Ibid.
[8] Agus Pramono. Orbit
Geostasioner (GSO) dalam Hukum Internasional
dan Kepentingan Nasiona
Indonesia. Artikel. Fakultas Hukum
Unversitas Diponegoro, Semarang. 2011.
[9] Agus Pramono. Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa.
Ghalia Indonesia: Bogor. Hlm 125
[10]
Ibid
[11]
Ibid. hlm 126
[12]
Ibid . hlm 130
[13] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid. hlm 135
[20] Ibid.
[21] Agus Pramono. Orbit
Geostasioner (GSO) dalam Hukum Internasional
dan Kepentingan Nasiona
Indonesia. Artikel. Opcit.
[22]
Ibid
[23] Ibid
0 komentar:
Post a Comment
BERKOMENTARLAH DENGAN BAIK DAN SOPAN!