KEDUDUKAN NEGARA KETIGA DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Home » » KEDUDUKAN NEGARA KETIGA DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Perjanjian internasional merupakan sesuatu yang penting dalam hubungan internasional sehingga merupakan salah satu sumber hukum formil hukum internasional. kedudukan tersebut dikarenakan praktek-praktek negara saat ini telah mengatur beragam persoalan dan hubungan antara mereka dengan mempergunakan perjanjian-perjanjian internasional, sehingga menjadi jelaslah pentingnya perjanjian-perjanjian internasional.[1]
Mengingat kebutuhan akan perjanjian internasional menjadi sangat penting,  Masyarakat internasional kemudian membuat kodifikasi hukum internasional mengenai perjanjian internasional. Upaya kodifikasi tersebut menghasilkan tiga insturumen hukum perjanjian internasional yang penting, yaitu :
1.      Konvensi Wina 1969, tentang hukum perjanjian internasional umum.
2.      Konvensi Wina 1978, tentang suksesi negara yang menghormati perjanjian internasional.
3.      Konvensi Wina 1986, tentang hukum perjanjian internasional antara negara dengan organisasi internasional atau organisasi internasional satu sama lain.
Instrumen yang paling terpenting dari ke tiga konvensi tersebut adalah Konvensi Wina 1969, karena konvensi ini mengatur mengenai prinsip-prinsip umum dalam hukum perjanjian internasional.
Salah satu pengaturan terpenting dalam Konvensi Wina 1969 adalah mengenai negara ketiga dalam hubungannya dengan sebuah perjanjian internasional. Perihal ketentuan tersebut, konvensi mengatur secara khusus dalam Bab III, Bagian Keempat dengan judul Treaties and Third States yang berisi lima pasal (Pasal 34-38).
Alasan  yang mendasari adanya pengaturan khusus mengenai negara ketiga dalam perjanjian internasioanl adalah adanya asas hukum yang dikenal dalam hukum yaitu : Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt. Yang berarti bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Berdasarkan bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangung jawaban.
Akan tetapi dalam prakteknya ternyata terdapat beberapa instrumen-instrumen perjanjian internasional yang dapat memberikan hak dan kewajiban kepada pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian. Salah satu contohnya adalah Piagam PBB pasal 2 ayat 6. Dimana pasal tersebut menentukan bahwa negara yang bukan merupakan negara anggota PBB harus bertindak sesuai dengan ketentuan dalam piagam untuk menjaga perdamian dan keamanan internasional. Pasal ini telah dipraktekan dalam kasus Reparation Case tahun 1949. Kasus ini bermula dari tertembaknya Pangeran Swiss, Pangeran Bernadotte, oleh tentara Israel saat menjalankan tugas sebagai mediator PBB di Timur Tengah. Menurut PBB Israel telah gagal untuk mencegah terjadinya pembunuhan. Untuk menghukum si pembunuh, PBB akan menuntut ganti rugi berdasarkan hukum internasional. Meskipun Israel pada saat itu belum menjadi anggota PBB. Tetapi berdasarkan pendapat Mahkamah Internasional/ICJ yang dinyatakan dalam Advisory Opinion menyatakan bahwa secara de jure dan de facto PBB adalah suatu organisasi internasional yang memiliki legal personality serta legal capacity untuk bertindak di depan hukum mewakili kepentingan PBB dan kepentingan korbannya. Legal personality dan legal capacity sendiri adalah hal penting dimiliki oleh suatu organisasi untuk menjalankan fungsinya.[2]
Adanya perbedaan antara asas hukum dan praktek masyarakat internasional tersebut menjadi suatu hal yang harus dijabarkan secara lanjut mengapa hal itu bisa terjadi.
Menurut Starke, terdapat dua cara yang dapat mengakibatkan negara ketiga menjadi terikat pada suatu perjanjian internasional;
·         Terdapat asas yang mengecualikan prinsip “pacta tertiis” sehingga negara ketiga dapat menikmati hak dan dibebani kewajiban atas dasar suatu perjanjian.
·         Adanya hubungan antara perjanjian internasional dengan hukum kebiasaan internasional yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga.
A.    Identifikasi Masalah
a.       Siapa itu negara ketiga dalam perjanjian internasional menurut konvensi wina 1969?
b.      Bagaimana kedudukan/status negara ketiga dalam perjanjian internasional menurut konvensi wina 1969?


A.    Negara Ketiga Dalam Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969
Ketentuan yang mengatur dan erat kaitanya dengan definisi negara ketiga terdapat dalam pasal 2 ayat 1 konvensi, yaitu :
1. “ third State means a State not a party to the treaty” (butir h)
2. “ party means a State which has consented to be bound by the treaty and for which the treaty is in force” (butir g)
3. “contracting State means a State which has consented to be bound by the treaty, whether or not the treaty has entered into force” (butir f)
4. “negotiating State means a State which took part in the drawing up and adoption of the text of the treaty” (butir e)[6]
Jika memperhatikan bunyi pasal tersebut terlihat jelas pengertian dari negara ketiga, yaitu negara yang bukan pihak peserta perjanjian. Lalu siapakah yang dimaksud dengan pihak peserta perjanjian? yaitu negara yang telah mengikatkan diri terhadap perjanjian hingga saat perjanjian tersebut berlaku..
Kesimpulan yang bisa ditarik adalah negara yang hanya ikut bernegosiasi dan negara yang hanya melakukan kontrak sebelum perjanjiana berlaku, dapat tercakup dalam kategori negara ketiga, karena batasan yang digunakan oleh butir h adalah pihak peserta; yaitu pihak yang mengikatkan diri hingga perjanjian berlaku. Sehingga dari deefinisi negara ketiga berdasarkan konvensi dapat kita simpulkan sebagai berikut. Pertama, negara yang tidak menjadi peserta perjanjian. Kedua, negara yang hendak menjadi peserta (contracting state atau negotiating state).

Meskipun negara yang melakukan kontrak (contracting state) dan negara yang ikut negosiasi (negotiating state) merupakan negara ketiga, akan tetapi mereka tetap menikmati beberapa hak dari peserta perjanjian maupun dari perjanjian itu sendiri. Terdapat beberapa ketentuan dalam konvensi Wina 1969 yang mengatur bagi contracting state yaitu, Pasal 40 ayat 2 :
“Any proposal to amend a multilateral treaty as between all the parties must be notified to all the contracting States, each one of which shall have the right to take part in:
1.    the decision as to the action to be taken in regard to such proposal;
2.    the negotiation and conclusion of any agreement for the amendment of the treaty.[7]
Pasal 18 ayat b memberikan tanggung jawab bagi contracting state untuk tidak melanggar tujuan dan obyek dari perjanjian hingga perjanjian tersebut menjadi mengikat. Sedangkan bagi negara negotiating state, terdapat hak dan tangung jawab yang berbeda dengan contracting state, yaitu apabila ia tidak menjadi peserta perjanjian
B.     Kedudukan Negara Ketiga dalam Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969
Pengaturan tentang negara ketiga dalam konvensi diatur secara khusus dalam Bab III, Bagian keempat, Pasal 34-38. Pasal 34 dengan tegas menganut asas Pacta Tertiss Nec Nocent Nec Prosunt, yang menandakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi pihak-pihak pada perjanjian itu saja dan tidak mengikat bagi pihak ketiga. Bagi pihak ketiga, perjanjian yang telah dibuat oleh pihak lain, baik negara maupun organisasi internasional, baginya hanya merupakan kepentingan pihak lain atau res inter allios acta.
 Bunyi klausul dalam Pasal 34, jika dikaitkan dengan adanya hak dan kewajiban yang ditanggung oleh negara ketiga, bukanlah sesuatu yang absolut. Pasal itu hanya menerangkan bahwa perjanjian tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga tanpa ada kesepakatan. Dengan demikian, hak dan kewajiban negara ketiga atas suatu perjanjian dapat timbul (laten atau potensi), dengan persyaratan tertentu, yaitu kesepakatan dari negara ketiga.
Reuter mengemukakan lain, baginya adanya hak dan kewajiban yang timbul bagi negara ketiga merupakan persoalan prosedural dan bukan persoalan substantif. Sehingga hak dan kewajiban yang timbul bagi negara ketiga tidak memiliki efek hukum. Analisa Reuter ini bertentangan dengan konvensi, karena dalam konvensi diatur tidak hanya mengenai mekanisme proseduralnya saja melainkan juga efek hukum yang diterima oleh negara ketiga setelah timbul hak dan kewajibannya.
Pasal 35-37 Konvensi Wina 1969 secara tersurat memperlihatkan bahwa asas Pacta tertiis nec nocent nec prosunt, tidak lagi menjadi sesuatu yang bersifat absolut. Pasal 35 yang membahas mengenai hal adanya kewajiban dari suatu perjanjian bagi negara ketiga misalnya. Negara ketiga dengan demikian hanya akan memiliki kewajiban bilamana telah menyatakan kesepakatnya secara tegas dalam bentuk tertulis untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang bersangkutan.
Berdasarkan komentar International Law Commission (ILC) terdapat persyaratan dari negara ketiga atas suatu kewajiban, yaitu:
a) Para peserta perjanjian memiliki kehendak untuk memberikan kewajiban kepada negara ketiga menurut ketentuan yang mungkin terdapat dalam perjanjian.
b) Negara ketiga harus menyatakan persetujuaanya dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan persyaratan tersebut maka dibuatlah perjanjian jaminan (collateral agreement) antara sesama peserta dan antara peserta dengan negara ketiga. Jadi dasar hukum terikatnya negara ketiga atas perjanjian bukanlah berdasarkan perjanjian tersebut akan tetapi berdasarkan perjanjian jaminan.
 Pasal 36 menetapkan bahwa bilamana dikehendaki oleh para peserta suatu perjanjian dapat memberi hak kepada negara ketiga atau kelompok negara ; dan negara-negara tersebut dalam menjalankan hak-nya harus taat pada tata cara seperti yang ditetapkan dalam perjanjian yang bersangkutan.[8]
 Menurut komentar ILC terdapat dua persyaratan agar negara ketiga dapat menikmati hak berdasarkan perjanjian, yaitu:
a) Para peserta perjanjian memiliki kehendak untuk memberikan hak kepada negara ketiga menurut ketentuan yang mungkin terdapat dalam perjanjian.
b) Terdapat persetujuan (assent) dari negara yang medapatkan keuntungan (beneficiaries) tersebut.
Tindakan persetujuan ini melahirkan dua pendapat yang berbeda, pertama, persetujuan dianggap sebagai penerimaan penawaran negara ketiga atas tawaran negara peserta perjanjian. Kedua, hak tersebut hanyalah merupakan indikasi yang tidak bisa diklaim oleh negara ketiga.
Pendapat bahwa hak tersebut merupakan suatu indikasi melahirkan dua pendapat berbeda mengenai dasar hukum mengikatnya negara ketiga atas suatu perjanjian, yaitu:
1) Perjanjian jaminan (collateral agreement)
2) Stipulation pour autroi (hak yang telah dinyatakan dalam perjanjian dan berlaku secara langsung (immediate)
Menurut De Arechaga, bahwa dalam praktek hukum internasional, negara ketiga memiliki hak menurut suatu perjanjian didasarkan atas stipulation pour autroi. Hal tersebut menurutnya karena hak negara ketiga telah dinyatakan dalam perjanjian.
“ Acceptance is not expression of consent to second agreement but its ab act appropriating of right derived from the treaty which contains stipulation in favour of third states. The third beneficiaries is not supposed to ratify, adhere or acced to the treaty but merely to appropriate or renounce the rights stipulated in its favour.”
Dalam praktek masyarakat internasional (putusan pengadilan), pendapat De Arechega tidak diakomodir. Putusan pengadilan tentang Free Zone of Upper Savoy and The District of Gex Case, 1815, antara Swiss dan Perancis memutuskan bahwa :
1) Pengaturan hak kepada negara ketiga dalam perjanjian tidak dapat dinggap ringan (lightly presumed)
2) Setiap kasus perjanjian tidak dapat diberlakukan aturan yang sama karena tiap kasus memiliki unsur-unsur yang berbeda.
3) Terdapat keinginan dari negara peserta untuk menciptakan hak tersebut.
4) Harus terdapat kesepakatan dari negara ketiga.
Berdasarkan ketentuan pasal 35 dan 36, konvensi Wina bermaksud melindungi negara-negara ketiga dari kemungkinan pembebanan kewajiban yang sewenang-wenang. Selain itu, yang berkaitan dengan hak, konvensi juga bermaksud untuk melindungi peserta perjanjian dari kemungkinan bahwa negara-negara bukan peserta dapat melampaui hak yang diperolehnya dari para peserta sedemikian rupa, sehingga mengurangi wewenang para peserta sendiri atas perjanjian yang mereka bentuk.
Pasal 37 terdiri dari dua ayat yang masing-masing mengatur perubahan atas suatu kewajiban dan hak bagi negara ketiga. Ketentuan pasal tersebut setarikan nafas dengan pendapat dari O’Connell yang menyatakan bahwa :
Once obligations or rights have occurred they can only be revoked or modified with the consent of all state concerned.”
Pasal 37 ayat 1 menyatakan dengan eksplisit bahwa perubahan perjanjian yang membebani negara ketiga dengan kewajiban, mutlak memerlukan persetujuan timbal balik. Sedangkan dalam ayat 2 berbunyi agak lain, yakni pengaturan perubahan suatu hak tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan negara ketiga yang memperoleh hak tersebut kecuali perjanjian telah menentukan demikian dalam perjanjian.
 Berdasarkan komentar ILC, bahwa pasal tersebut dibuat dengan maksud agar negara-negara peserta suatu perjanjian tidak enggan untuk memberikan hak kepada negara ketiga hanya karena mereka khawatir bahwa negara ketiga dapat melampaui wewenangnya.[9]
Pasal 38 mengatur hak dan kewajiban bagi negara ketiga secara berbeda. Ketentuan ini menyatakan bahwa hak dan kewajiban negara ketiga lahir atas sebuah perjanjian internasional berdasarkan hukum kebiasaan internasional.
“Nothing in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty from becoming binding upon a third State as a customary rule of international law, recognized as such.”
Pasal ini secara tersirat ingin menyatakan bahwa dalam hukum internasional ternyata tidak hanya perjanjian saja yang memainkan peranan penting, akan tetapi kebiasaan internasional juga ikut mengambil bagian untuk menciptakan aturan dan norma dalam hukum internasional.
Hubungan antara perjanjian internasional dan kebiasaan internasional memiliki beberapa bentuk. Pertama, perjanjian dapat dianggap berasal dari kebiasaan yang telah ada sebelumnya. Kedua, perjanjian internasional dapat menjadikan tanda lahirnya suatu kebiasaan internasional baru melalui praktek negara. Ketiga, perjanjian multilateral dapat dianggap sebagai kristalisasi dari kebiasaan internasional yang telah dianggap umum.
 Sedangkan definisi kebiasaan internasional masih terdapat beragam pendapat diantara para sarjana. Jika melihat Statuta ICJ pasal 38 ayat 1, dinyatakan bahwa “international custom, as evidence of general practice accepted as law.” artinya adalah hukum kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.
Berdasarkan bunyi statuta ICJ tersebut maka kebiasaan internasional dapat dijadikan sebagai sesuatu yang mengikat apabila memenuhi dua unsur, yaitu: unsur material dan unsur psikologis. Unsur material tercapai apabila adanya suatu kebiasaan atau pola tindak yang berlangsung lama dan merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Selain itu kebiasaan atau pola tindak itu harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Unsur psikologis terpenuhi apabila kebiasaan internasional dirasakan memenuhi seluruh kaidah atau kewajiban hukum (opinion juris sive necessitatis).
Pendekatan yang digunakan dalam pasal 38 ini merupakan pendekatan rezim objektif (objective rezime). Pendekatan ini melihat bahwa terikatnya negara ketiga atas perjanjian internasional berdasarkan unsur objektif. Objektifitas di sini dapat diartikan dengan bahwa hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian itu bersifat erga omnes, sehingga semua negara, baik peserta ataupun tidak, memiliki hak dan tangung jawab terikat dengan tujuan perjanjian.

SUMBER:
Ardhiwisastra, Y. B. (2003). Hukum Internasionai. Bandung: Bunga Rampai, Alumni.
Damos dumoli agusman, S. (2010). hukum perjanjian internasional: kajian teori dan praktik indonesia. bandung: PT. RefikaAditama.
Kusumohamidjojo, B. (1986). Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Binacipta .


[1] Budiono Kusumohamidjojo, Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, hlm,2.

[2]  lihat postingan riarien, organisasi internasional, di http://riarien.wordpress.com/2012/03/17/organisasi-internasional/  


[3] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional: Bunga Rampai, Alumni, Bandung, 2003, hlm, 105.

[4] Damos Dumoli Agusman, S. (2010). hukum perjanjian internasional: kajian teori dan praktik indonesia.         Bandung: PT. Refika Aditama, hlm, 20.



[5] Ibid , hlm 20

[6] Vienna convention on the law of treaties 1969, article 2 (h,g,f,e)

[7] Ibid, article 40 paragraph 2

[8] Budiono Kusumohamidjojo, op.cit, hlm. 30.


[9] Budiono Kusumohamidjojo., hlm.31
.
Share this article :